0

[Islamologi] Memahami Predikat Perbuatan Hasan dan Qobih

Day 03 of 99

Perbuatan manusia sesungguhnya adalah materi belaka. Ia mampu dijangkau dan diindera. Oleh karenanya manusia membuat penentuan terhadap predikat perbuatan yang dilakukan. Entah mereka sifati dengan khayr-syarr atau hasan-qabih. Hanya saja penentuan predikat perbuatan tidak bisa disifati melalui zatnya. Predikat perbuatan sesungguhnya bisa ditentukan melalui unsur luar. Saya menganalogikan layaknya kalimat utuh. Jika hanya terdapat predikat saja, maka kalimat tersebut menjadi bias. Untuk memahami predikatnya, kita membutuhkan subjek, objek, dan keterangan.


Ust. Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam kitab Mafahim Islamiyah bahwa, unsur luar yang mampu menentukan predikat sebuah perbuatan apakah khayr-syarr adalah motif dan tujuan manusia demi melakukan perbuatan yang berimbas pada qimatul amal.  Sedangkan untuk menentukan hasan-qabihnya perbuatan dilihat dari ukuran yang dipakai oleh manusia. Apakah ia menggunakan akal atau syariat saja, menggunakan syara yang diperkuat akal, atau akal yang dibenarkan syara.

Untuk membahas secara mendetail tentang hasan-qabih, maka perlu ditilik lebih jauh fakta dan sejarah pemikirannya. Mengapa demikian? Karena sebelumnya, Islam tidak pernah mempermasalahkan perkara hasan-qabih. Perkara hasan-qobih adalah perkara konotasi dan istilah yang muncul di tengah masyarakat. Istilah ini berkembang dan dikembangkan pertama kali oleh filsuf barat, dimana pangkal dari filosofi adalah seni dalam bertanya. Pada saat itu, orang-orang (termasuk ahli kalam) mempertanyakan dan mencari tahu tentang WISDOM “Kebijaksanaan” dan ingin mencapai derajat tersebut. Mereka percaya, jalan untuk mencapainya adalah dengan mengetahui apa-apa yang haq. Dan dari sinilah akhirnya muncul berbagai ukuran untuk menentukan hasan-qabihnya perbuatan. Berbagai macam ukuran yang muncul ini sukses untuk menambah perdebatan yang melelahkan.

Jika kita melirik filsuf hindu yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka menentukan hasan-qobih dengan menggunakan akal saja. Pandangan filsuf hindu ini menular dan menyebar kepada ahli kalam. Mu’tazilah misalnya, juga memandang penentuan hasan-qobih dengan akal. Pandangan ini pun dibantah tegas oleh ahlu sunnah yang berpendapat bahwa kesemuanya harus distandartkan pada syara.

Ukuran untuk menentukan hasan-qabihnya perbuatan oleh Ust. Taqiyuddin an-Nabhani diklasifikasikan berdasarkan tiga objek pembahasan, yaitu (1) mahiyah (fakta zatnya), (2) kesesuaian dengan tabiat manusia & kecenderungan fitrahnya, serta (3) pahala dan dosa. Ust. Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa yang berkaitan dengan objek pembahasan ketiga, maka mutlak menggunakan hukum syara. Akal tak ada sama sekali hak untuk menentukan. Dan untuk objek pembahasan pertama dan kedua, manusia bisa (tapi tidak mutlak) menentukan hasan-qabihnya dengan menggunakan akal.

Maksudnya? Objek pembahasan pertama, yaitu mahiyah (fakta zatnya), sebetulnya digunakan untuk mensifati benda. Walaupun benda dan perbuatan sama-sama materi, namun sesungguhnya mereka berbeda. Benda dapat dengan mudah diindera fakta zatnya. Apakah ia manis, asin, cantik, seram. Manusia mampu menilainya dengan akal. Namun berbeda cerita jika kita berbicara tentang halal-haram, tentu, akal tidak mampu bermain di sini. Mengapa daging babi diharamkan padahal rasanya enak? Mengapa khamr diharamkan padahal mampu menghangatkan di kala dingin?

Pun demikian dengan objek pembahasan kedua, yaitu kesesuaian tabiat dan fitrah manusia, tidak bisa mutlak menggunakan ukuran akal. Perubahan manusia adalah sebuah keniscayaan. Dulu kafir, sekarang beriman. Dulu penurut, sekarang pembangkang. Sungguh manusia mampu berubah sesuai dengan lingkungan, konteks zaman, serta kepentingan. Indonesia saja yang dulu termahsyur karena budaya sopan-santunnya, kini budaya tersebut mulai tergerus zaman.

Walhasil, syariat merupakan satu-satunya tolak ukur universal dalam menghukumi predikat hasan-qabih suatu perbuatan. Al-Qur’an dan hadits sungguh mampu menghukumi perbuatan manusia dalam konteks dan zaman apapun. Al-Qur’an dan hadits sungguh mampu menjadi way of life bagi kaum muslim di manapun dan pada masa apapun. Oleh karenanya, beliau merumuskan kaidah:
“Terpuji (hasan) adalah apa saja yang dinyatakan terpuji oleh syariat, sedangkan tercela (qabih) adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat.”



0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.