0

[Islamologi] Mendefinisikan “Darurat”

Day 05 0f 99


“Aah ngga papa… Darurat ini.” Kalimat ini seringkali terlontar melalui mulut kaum muslim saat mendapati kondisi tak memungkinkan demi melaksanakan suatu syariat Islam secara sempurna. Faktanya, kaum muslim kekinian di hadapkan dengan tembok penghalang besar demi sempurnanya setiap amal perbuatan berdasar syariat. Pemahaman dan metode berpikir Barat misalnya, telah mendarah daging dalam lini-lini kehidupan hingga berakhir pada kemunduran pelaksanaan hukum syara. Kaum muslim akan memilih sesuatu yang mudah –jalan pintas. Jalan alternatif– dan tetap dalam jalur esensi Islam dengan mengamalkan fikih “darurat”.

Kata “darurat“ seakan menjadi kambing hitam, seakan-akan darurat itulah kerangka yang umum untuk fikih. Bahkan, definisi “darurat“ di sandarkan pada masing-masing keadaan kaum muslim yang akan berbeda satu sama lain. Tentu, jika terus berkembang, hal ini akan menjadi momok berbahaya yang menghancurkan kaidah fikih itu sendiri.


Oleh karenanya kaum muslim dituntut benar untuk mendefinisikan “darurat“ sesuai Islam. Yaitu dengan mengaitkan fakta yang ada dengan nash-nash syara. Sesungguhnya kondisi darurat membolehkan sesuatu yang diharamkan. Dalam mendefinisikan darurat, para ahli fikih memiliki keberagaman pemaknaan. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa darurat merupakan kondisi “sampainya manusia pada suatu batasan yang jika tidak mengambil atau melakukan sesuatu yang haram maka ia akan binasa atau hampir binasa“. Kata “binasa“ di sini didefinisikan melalui dalil mutawatir (pasti) dan gholabatuzh zhan (dugaan kuat).

Melalui definisi di atas maka dihasilkanlah sejumlah pengertian. Pertama: dharurat adalah uzur syar’i yang menuntut seseorang melakukan sesuatu yang diharamkan. Ini berbeda dengan hukum alternatif yang ditetapkan oleh syariah yang disebut dengan rukhshah walaupun dharurat menjadi sebab adanya rukhshah. Rukhshah itu lebih umum dari dharurat. Rukhshah mencakup kondisi dharurat maupun tidak dharurat, seperti uzur syar‘i yang mengharuskan adanya keringanan. Karena itu uzur yang membolehkan keharaman harus disandarkan pada syara, bukan pada akal manusia.

Kedua: dharurat adalah kondisi yang memaksa dan biasanya tidak ada sesuatu pun yang bisa menolaknya.

Ketiga : dharar tersebut nyata-nyata mengancam jiwa atau cacatnya anggota badan.

Allah dalam firmannya telah mencontohkan keadaan dharurat yang membolehkan seseorang melakukan keharaman,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (saat disembelih) disebut nama selain Allah. Namun, siapa saja dalam keadaan terpaksa (memakannya), padahal dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, tak ada dosa bagi dia.” (TQS. Al-Baqarah : 173)

“Darurat“ memang telah terdefinisikan. Hanya saja, perdebatan mengenai fikih “darurat“ terus bergulir. Para ulama muta’akhirin berpendapat bahwa dharurat tidak sebatas kondisi ketakutan akan timbulnya kebinasaan dan kecacatan tapi juga kondisi berbahaya atas jiwa, kehormatan, harta, agama, dan tanah air. Sayangnya pendapat ini tidak rajih karena sebenarnya tidak berdalil.

Sementara argumen penganut kaidah al-Harj melalui firman Allah dalam al-Hajj: 77 – 78: … Allah sekali-sekali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan, juga tidak dibenarkan. Karena jika berpegang pada argumen ini, tentu akan banyak gugur taklif hukum karena kesulitan dan keberatannya. Hukum syara tetap harus dilaksanakan sebagaimana yang dicontohkan tanpa harus melihat apakah di dalamnya terdapat kesulitan ataukah kemudahan. Terlebih Rasul telah berucap, “Neraka itu dikelilingi dengan berbagai perkara yang disenangi, sedangkan surga dikelilingi dengan perkara yang tidak disukai.“

Oleh karenanya, tak sembarangan bagi kaum muslim untuk melaksanakan fikih “darurat“. Terdapat syarat dan ketentuan berlaku yang mengelilingi, yaitu:
Darurat benar-benar terjadi dan tidak dapat ditangguhkan. Orang tersebut terpaksa harus melakukan perbuatan haram karena tidak ada lagi pilihan bagi perkara mubah lainnya. Pun, darurat harus ditakar sesuai kadarnya. Tidak boleh melampaui batas. Tanpa keterpaksaan.

Keharaman yang dilakukan tidak menimbulkan dharar lain yang lebih besar dari dharar yang diakibatkan oleh kondisi darurat tersebut. Misal, tidak boleh melakukan keharaman dalam rangka menjaga anggota badan dari kecacatan yang malah mencacati anggota badan lainnya atau membinasakan jiwa.

Tenggang waktu mengambil rukhshah terbatas oleh uzur. Jika uzurnya hilang maka rukhshahnya pun hilang. Hukum mengambil rukhshah pun berketentuan. Jika berpegang pada ‘azimah (Ketetapan awal dari nash syara) itu benar-benar dapat membinasakan, maka mengamalkan rukhshah adalah wajib.

Berkaitan dengan memakan sesuatu yang haram , maka seorang mudhtharr boleh memakan sesuatu yang haram, tetapi tidak sampai pada batasan kenyang, hanya sekedar menghilangkan daruratnya saja.

Inilah pemahaman dan pola yang benar tentang darurat yang harus diketahui oleh setiap muslim demi sempurnanya keimanan melalui amal perbuatan yang tidak berstandartkan taraf nasional ataupun internasional. Tetapi amal perbuatan kaum muslim, satu-satunya distandartkan pada hukum syara.

Ditulis kembali dari artikel yang bersumber dari http://hizbut-tahrir.or.id/2014/07/26/fikih-darurat/




0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.