0
[Percikan] Question Mark
![]() |
theemployable.com |
Kala
kita menapak akhir fase hidup. Sekolah Menengah Atas misalnya. Seringkali
seseorang bertanya kepada kita. “Kapan lulus?” atau “Mau lanjut kemana?”.
Pertanyaan ini senantiasa membayangi. Terkadang kita mungkin sulit tuk
menjawab, jika tujuan kita masih samar atau saat arah masih tak terpetakan.
Namun seringkali, hati kita telah mantap hingga diberikan kemudahan untuk
menjawab. Sebab setiap kita menapaki tahapan demi tahapan hidup ini, kita tahu
pasti kemana kaki akan melangkah dan hati ini telah ikhlas.
Pertanyaan
lain juga akan terbersit setelah kaki telah menapak tahapan baru. Saat bertemu
seseorang yang baru kau kenal, mesti ia bertanya “Kamu berasal dari mana?” atau
“Alumni sekolah mana?”. Untuk pertanyaan ini, keyakinan yang pasti akan
tercipta saat menjawab, tak seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Sungguh
terlalu jika ada yang tak mampu menjawab, mungkin ia abai atau amnesia sedang
melanda.
Dan,
ngomong-ngomong tentang pertanyaan ini, dari awal saat membuka mata ternyata
kaum muslim telah dibayangi pertanyaan ini. Tiga pertanyaan besar. Bukan untuk
menekan hidup ini. Terciptanya pertanyaan ini semata-mata untuk memberi arahan
akan hidup. Membuat kaum muslimin belajar tapi tak mengenal kata sombong.
Membuat kaum muslim senantiasa penuh visi syarat misi.
Pertanyaan
pertama hadir saat manusia mempertanyakan akan eksistensinya. “Darimana kita berasal?”, pertanyaan
yang begitu menggelitik. Tapi nyatanya Charles Darwin tak mampu sampai pada
jawaban adanya Pencipta. Allah SWT. Ia abaikan tanda-tanda kebesaran-Nya, hasil
ciptaan Allah, maka tak ayal jawabannya mengacu kembali pada materi. Manusia
berasal dari materi yang mengalami evolusi.
Lantas,
ketika kita mantap akan jawaban Allah SWT sebagai pencipta segala makhluk,
pertanyaan lain terbersit. “Akan apa
kita di dunia?”, seriously, kita
pasti tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia dari rahim fulanah. Semua
ini, kelahiran, kematian, rezeki dan jodoh telah Allah atur dalam butir-butir
takdir, maka kita tak perlu mempermasalahkan hal itu.
Berbeda
jika kita mempertanyakan akan apa yang akan kita lakukan di dunia. Hal-hal yang
terkait pahala dan dosa. Allah tak tentukan takdir di sana. Tentu, kita miliki
kemampuan tuk memilih. Life is choice,
right? Bijaksana tentunya jika waktu yang Allah berikan di dunia tak
dilandaskan kesenangan semata.
Last
but not least, pertanyaan “Akan kemana setelah kita mati?”
seharusnya menambah kesadaran akan hubungan kita terhadap Allah. Manusia
nyatanya tak bernilai apapun jika tanpa Allah yang satu. Allah yang memberi
kita kehidupan, Allah pula yang pada saat yang ditentukan akan mengambilnya.
Kematian seharusnya cukup menjadi pengingat bagi umat agar bertaqwa dan tetap
berada dalam koridor syara yang telah Allah aturkan. Maka, keberadaan Allah SWT
bukan hanya sebagai pencipta lantas lepas tangan terhadap hasil ciptaan-Nya.
Selayaknya Allah ciptakan bumi dan mengatur peredaran rotasi dan revolusinya,
begitu pun manusia, Allah ciptakan kita lalu mengaturnya. Bukan pengaturan
langsung memang, akal telah membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia
mampu membuat pilihan dalam hidupnya. Maka melalui Qur’an dan sunnah Rasul,
Allah memberi arahan.
Kini,
tinggal tergantung manusia itu sendiri. Tak terasa memang saat di dunia. Tapi
hidup yang sementara seharusnya tak lantas melupakan waktu akhirat yang selamanya.
Ada juga hari pembalasan. Saat dimana kita menerima raport yang akan
menghantarkan kita pada neraka atau syurga. Ya, itu semua tergantung kita.
Pilihan kita.
Post a Comment