0

[Catatan Harian] Nasehat dari Ayah



Kurasakan, aku tak pernah benar-benar dewasa,
Ada saat dimana kelakuan childishku muncul,
Walau katanya aku sudah mampu memutuskan jalanku sendiri,
Tapi tetap, aku membutuhkan sebuah nasehat, sebuah dukungan,
Yang akan menguatkanku lebih...
Dan saat aku terjatuh, ulurkanlah sekali lagi tanganmu...
Ayah, Ibu...


            Pernah ada saat dimana kita berada dalam keadaan kacau. Kelelahan yang sangat berarti hingga kepala seakan-akan pecah. Bernafas saja sesak. Benar-benar terasa bahwa penghidupan ini sangaaat sempit. Maka di sanalah aku kembali. Serang Sarange (Serang yang Kucintai). Tak ada tempat yang paling indah. Indah karena keluargaku berdomisili di sana. Tempatku dilahirkan.

Tak ada tempat yang sangat menerimaku seperti di tempat ini. Membuka pintu lebar-lebar walau kehadiranku tak jarang merepotkan. Semua kekurangan dan sedikit kelebihanku tak menjadi masalah. Tak perlu banyak waktu, maka beban berat ini seakan terangkat. Aku bisa berpikir lebih jernih, tak ditekan dan digerogoti oleh perasaan. Tapi itu semua ternyata tidak cukup untuk menutup luka dihati. Aku tak pernah benar-benar tahu akar masalah yang kuhadapi. Aku hanya berada dalam gelembung kegembiraan keluarga. Tapi saat aku harus kembali, maka gelembung itu harus kupecahkan, dan masalah kembali merasuki kehidupan.

Kau tahu? Aku akhirnya membenarkan bahwa ada orang-orang yang bisa membaca pikiran. Kutemui faktanya dalam keluargaku, mereka memang bukan peramal, tapi mampu membaca kegelisahan yang tak tampak. Masalah besar yang sedang kuhadapi.

Ayah bukan peramal, tapi ayah tahu apa yang terjadi pada anaknya. Sambil mengurus tanamannya kala itu, ayah memberi dua buah nasehat yang membuatku terhenyak. Membuka kunci laci ketabahan yang selama ini menguatkanku.

Nasehat pertama : Jika masih tersisa rasa ngga enak di dalam hatimu. Maka belajarlah untuk berkata tidak.

Nasehat pertama yang sangat menusuk. Aku seperti terlahir dengan kutukan ―jika bisa kukatakan demikian― tak mampu tegas berkata tidak. Maka semua yang diminta kukerjakan hingga akhirnya seringkali aku tersesat dalam jalan yang bukan merupakan tujuan hidupku.

Akan kuingat. Aku akan belajar mengatakan tidak.

Nasehat kedua : Apa yang ada dalam dunia ini tidak selalu sesuai dengan apa yang kau harapkan. Jangan menilai orang terlalu baik dan sempurna. Jika kelak kau menemukan sedikit kecacatan pada orang itu. Maka hanya kekecewaan yang kau dapat.

Nasehat kedua ini menyentuh ambang batasku. Aku tak mampu lagi menahan tangisku. Walau hari itu sangat cerah, tapi kurasakan hujan di mataku. Hujan yang sangat deras. Mataku kini terbuka akan akar masalah yang kuhadapi. Sesuatu yang telah lama menjadi misteri kini terkuak sudah.

Aku kini tahu kemana aku harus melangkah dan apa yang harus kuperbaiki pada diri ini. Aku siap menatap lagi matahari dan tersenyum pada dunia dengan aku yang baru. Bukan aku yang tak mampu berkata tidak. Bukan aku yang selalu dihadapkan pada kekecewaan ―yang menggerogoti separuh perasaanku― akan kekurangan orang yang kuanggap sempurna. Aku akan mencintai dan menilai orang secara sederhana. Hingga aku pun hanya tidak menyukainya secara sederhana. Mulai detik ini. 

Dan detik-detik selanjutnya adalah ucapan rasa syukur atas apa yang telah Allah SWT titipkan padaku. Sebuah keluarga ideal. Ayah, ibu, dan adik yang sangat mengerti aku. Bahkan ada saat dimana adikku terlihat lebih dewasa dariku.

            Keluargaku memang bukan keluarga peramal. Tapi bukan berarti keluarga tak mampu merasa ada yang tak beres dari anggota keluarga yang lain. Mereka punya perasaan yang terbentuk karena kedekatan. Keluargaku, tak akan pernah bosan mengulurkan tangannya untuk menarikku kembali ke tempat cahaya berada dan mendorongku dari belakang atas apa yang menjadi pilihanku. Lewat nasehat.

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.