Kira-kira
sebulan yang lalu, saya menjalani operasi pertama. Operasi untuk mengangkat
amandel. Operasi ini merupakan anjuran dari dokter THT setelah saya berkonsultasi
pada September 2014. Pada saat itu, saya meminta dokter menunda tanggal operasi
saya karena status saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Ya, Oktober saya
dijadwalkan sidang akhir dan November adalah jadwal wisuda.
Bahkan
jauh sebelum itu, Ayah masih ragu untuk mengoperasi amandel, karena yah, tidak
sedikit dokter yang menyarankan untuk mempertahankan amandel demi fungsinya
sebagai kekebalan tubuh.
Berbeda
dengan pandangan Ayah, salah seorang teman malah menyarankan sebaliknya. Dokter
tempatnya berkonsultasi meyakinkan bahwa mempertahankan amandel yang radang
malah berbahaya, sedang antibodi tidak hanya ada pada amandel.
Terpengaruh
dengan saran dari temanlah pada akhirnya saya mendesak Ayah. Ditambah,
bulan-bulan sebelum operasi, kondisi kesehatan saya agak terganggu akibat
radang amandel. Makan makanan yang mengandung msg sedikit langsung sakit. Makan
minuman yang dingin sedikit langsung sakit. Bahkan mantra ajaib saya tampaknya
berkurang kemanjurannya.
Maka
ketika kali kedua saya berkonsultasi, saya sudah memantapkan diri untuk
mengikhlaskan amandel ini. Kamis saya konsultasi, esoknya saya operasi. Dan
jujur saja, ini adalah pengalaman saya menjadi pasien rumah sakit dan
pengalaman-pengalaman lainnya saat berada di rumah sakit.
Sebelum
dioperasi saya diminta menjalani beberapa tes. Darah saya diambil, tensi saya
di cek, begitu juga dengan tes radiologi. Hasilnya? Saya berada dalam kondisi
prima untuk operasi. Kamis ba’da maghrib, saya diharuskan sudah menempati
bangsal rumah sakit, menginap sebelum operasi.
Dalam
keadaan sehat, saya diinfus, disuntik macam-macam. Ketimbang menangis, saya
hanya bisa tertawa sedang mata saya menangis menanggung rasa sakit saat seorang
perawat menyuntikkan suntikan alergi. Dan
yang ada sang perawat pun ikut tertawa melihat tingkah saya.
Untuk operasi pengambilan amandel, terdapat dua dokter yang menangani
saya. Satu dokter THT, yang namanya mengingatkan saya akan mantan presiden
Indonesia yang kini terkenal dengan satirnya, “Piye kabare? Penak jamanku to?”. Satu lagi dokter anestesi, yang
namanya ajaib sehingga sudah hilang dari ingatan. Well, saya bersyukur mendapat dua dokter ini untuk menangani saya. Simple saja alasannya: karena
beliau-beliau ini sangat komunikatif terhadap pasien, hingga saya tidak sungkan
untuk mengeluhkan sesuatu.
Sebelum operasi, saya harus puasa selama delapan jam. Sekitar jam 5 saya sudah diberi sarapan dan diberi
penanda “PUASA”. Sekitar jam sembilan, seorang ustadz datang untuk memberikan
tausiyah bagi saya untuk bersabar, dan do’a agar saya cepat sembuh. Kata-kata
penyemangat yang seharusnya membuat pasien tenang.
Menjelang
detik-detik operasi, seorang suster menjemput saya dengan membawa kursi roda. Saya sudah pasrah karena toh selama operasi saya akan
dibius total. Sepanjang jalan menuju ruang operasi pikiran saya benar-benar
kosong, sembari mulut ini senantiasa menyebut nama Allah. Entah memang karena
suhu pendingin ruangan yang rendah atau memang saya yang terlampau tidak tenang
sehingga tangan dan kaki saya dingin.
Memasuki ruang operasi, dalam keadaan terbaring, saya dipasangi
alat-alat. Walaupun dua dokter yang menangani operasi saya, tapi ternyata lebih
dari dua dokter yang berada di ruang operasi, sekitar 6 atau 7 orang bersama
saya.
Sembari dokter menyuntikkan biusnya, saya diajak ngobrol. Siapa nama
saya. Umur saya. Mempertanyakan ketenangan saya. Sampai pada akhirnya kata-kata
terakhir yang saya ingat adalah obrolan seputar BPJS. Setelah itu sepi. Saya
tidak sadar.
Setelah saya sadar, mulut saya penuh dengan cairan yang segera setelah
dimuntahkan saya tahu itu darah. Saya juga merasakan sakit yang luar biasa
dibagian tenggorokan. Dokter memberitahukan untuk tidak bicara karena memang
saya tidak bisa bicara. Pun untuk
makanan, saya hanya diberi minuman susu yang mengandung oats. Hanya itu. Bahkan
saya iri saat tetangga sebelah kamar saya ditanyakan menu apa yang ingin
dipilih untuk makannya nanti. Ayam goreng madu atau cumi rica-rica? Argh,
curang.
Untungnya,
hari sabtu, saya sudah diperbolehkan pulang. Yeay. Saya pulang dengan membawa
amanah dokter, “Makan hanya dengan bubur yang di saring dua hari, bubur dua
hari, dan nasi tim dua hari, selanjutnya saya boleh memakan nasi. Untuk lauk,
tidak ada pantangan, asal jangan makanan panas dan pedas“. Rasa sakit pasca
operasi, tetap saya rasakan hingga dua minggu setelahnya. Menelan sakit. Bersin
sakit. Nguap sakit. Tapi sekarang, saat saya merasakan kosong ditenggorokan. I feel free. Makan makanan banyak msg tak masalah. Minum minuman
dingin pun tak masalah. Alhamdulillah.
P.S: Sayangnya saya tidak mengambil foto amandel sesudah diangkat. Kata Ibu,
segede baso. Hehe.