0

[Islamologi] Keharaman Penetapan Harga Oleh Pemerintah

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan pengaturan pada segala hal yang menyangkut perbuatan hamba-Nya, baik itu dalam skala privat maupun publik. Sungguh, sangat merugi umat kekinian yang teramat sombong hingga tak lagi mengenakan syariat-Nya sebagai bagian dari kehidupan. Salah satunya adalah pengaturan Islam dalam persoalan ekonomi terkait haram tidaknya penetapan harga pada barang kepemilikan umum dalam Islam.

Penetapan harga, dalam bahasa arab, dikenal dengan sebutan ta’sir yang berasal dari kata sa’ara. Secara istilah, para fuqaha mendefinisikan at-ta’sir sebagai penetapan harga oleh penguasa agar para pedagang di pasar tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga yang telah ditetapkan oleh penguasa. Imam asy-Syaukani juga mendefinisikan at-ta’sir secara lebih luas sebagai penetapan harga oleh penguasa atau wakilnya, atau siapa saja yang memiliki kekuasaan dalam mengatur urusan kaum muslimin, bagi para pedagang di pasar, agar mereka tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga tertentu, tidak melebihi batas itu atau menguranginya demi maslahat.

Hanya saja, walaupun mengandung maslahat, penetapan harga oleh penguasa hukumnya haram menurut padangan jumhur fuqha. Hal ini berdasar atas ucap Rasulullah yang diriwayatkan oleh Anas ra:
Suatu saat di masa Rasulullah SAW harga merangkak naik. Lalu orang-orang mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami‘. Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan sungguh aku berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan suatu kezaliman, baik dalam darah atau harta‘.“ (HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud)

Juga di dasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra:
“Seorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga‘. Beliau menjawab, ‘Berdo’alah‘. Kemudian datang yang lain dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga‘. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah lah yang menurunkan dan menaikkan harga‘.“ (HR. Abu Dawud)

Kedua hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa ta’sir diharamkan dan merupakan kedzaliman, yang jika seorang pemerintah melakukan ta’sir maka ia berdosa. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat berhak mengadukan kepada mahkamah mazhalim demi pembatalan ta’sir. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat lainnya, sebab pada kedua hadits ini terdapat qarinah (indikasi) yang tegas.

Secara mata manusiawi, perkara ta’sir terlihat menguntungkan bagi masyarakat. Hanya saja, dari pandangan ekonomis, nyatanya perkara ta’sir hanya akan memperbutuk suasana. Jika dianalisa, harga yang tinggi adalah sebab dari meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Contohnya, pada saat hari raya, permintaan terhadap barang sembako meningkat, oleh karenanya harga pun merangkak. Sama halnya ketika terjadi kelangkaan elpiji 3kg saat ini karena kenaikan harga elpiji 12kg, pun demikian harganya ikut merangkak. Jika pada dua kondisi ini pemerintah menerapkan ta’sir, maka akan mendorong permintaan baru atau meningkatnya permintaan, serta akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, hal tersebut akan mendorong produksi dalam negeri untuk mencari pasar luar negeri (yang tak terawasi), atau menahan produksinya sampai dibekukannya ta’sir, atau tidak adanya keinginan produsen untuk memproduksi barang. Jika begini, maka suatu negeri akan kekurangan suplai dan malah menyebabkan permasalahan baru dan membuat harga semakin menjulang. Artinya, perkara ta’sir tidak hanya merugikan para produsen dan pemilik barang dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang menjadi dhoror bagi seluruh negeri.

Lantas Allah miliki pengaturan istimewa untuk menjaga harga tetap stabil hingga tak perlu lagi perkara ta’sir yang memang telah Allah haramkan. Pengaturan istimewa ini hanya mampu terasa keistimewaannya saat umat muslim menerapkan semesta syariat Islam dalam kehidupannya, bukan hanya sebatas ibadah semata. Dengan penerapan Islam secara sempurna maka akan terbentuk individu yang bertaqwa, kontrol masyarakat, dan pemerintahan yang berorientasi memenuhi pelayanan kepada masyarakat.

Maka salah satu perkara yang menyebabkan naiknya harga, yaitu kelangkaan barang akibat maraknya penimpun, tidak akan eksis dalam masyarakat yang tiap individunya bertaqwa. Ketaqwaan individu akan membuat mereka mawas diri dan senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan yang Allah makruhkan apalagi telah nyata keharamannya, seperti larangan untuk menimbun barang. Dari Sa’id Ibnu Musayyid dari Mu’ammar, Rasulullah bersabda,
Siapa saja yang menimbun barang maka ia berdosa.” (HR. Muslim)

Dan perkara lainnya, yaitu kenaikan harga diakibatkan meningkatnya permintaan, maka negara berkewajiban untuk menambah suplai dan melakukan pengadaan barangdari wilayah kaum muslimin lain atau dengan cara impor, bahkan dengan cara membebaskan bea masuk, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menyuplai kebutuhan penduduk Hijaz dengan mendatangkan barang dari Mesir dan wilayah Syam. Contoh di atas secara gamblang memperlihatkan kepada umat bagaimana sistem Islam membuat pemerintahan sangat gencar demi memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Kebijakan ini akan semakin sempurna dengan sistem ekonomi Islam yang menerapkan mata uang dengan standart emas dan perak, dimana unsur intrinsik dan ekstrinsik kedua mata uang ini sama. Oleh karenanya, kenaikan atau penurunan harga keduanya tidak akan berpengaruh besar terhadap harga barang.

Subhanallah, Maha besar Allah yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya pengaturan yang mengelilinginya. Maka sungguh, nikmat mana lagi yang engkau dustakan demi menyadari kekhilafan dan kembali lagi kepada hukum Allah.



0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.