0
[Islamologi] Keharaman Penetapan Harga Oleh Pemerintah
Posted by Unknown
on
18:17
in
apa kabar indonesia,
aturan islam,
halal haram,
harapan,
islamologi,
kesejahteraan,
pemerintah,
penetapan harga,
ta'sir
Segala
puji bagi Allah yang telah menurunkan pengaturan pada segala hal yang
menyangkut perbuatan hamba-Nya, baik itu dalam skala privat maupun publik.
Sungguh, sangat merugi umat kekinian yang teramat sombong hingga tak lagi
mengenakan syariat-Nya sebagai bagian dari kehidupan. Salah satunya adalah
pengaturan Islam dalam persoalan ekonomi terkait haram tidaknya penetapan harga
pada barang kepemilikan umum dalam Islam.
Penetapan harga, dalam
bahasa arab, dikenal dengan sebutan ta’sir
yang berasal dari kata sa’ara. Secara
istilah, para fuqaha mendefinisikan at-ta’sir
sebagai penetapan harga oleh penguasa agar para pedagang di pasar tidak menjual
barang-barang mereka kecuali dengan harga yang telah ditetapkan oleh penguasa.
Imam asy-Syaukani juga mendefinisikan at-ta’sir
secara lebih luas sebagai penetapan harga oleh penguasa atau wakilnya, atau
siapa saja yang memiliki kekuasaan dalam mengatur urusan kaum muslimin, bagi
para pedagang di pasar, agar mereka tidak menjual barang-barang mereka kecuali
dengan harga tertentu, tidak melebihi batas itu atau menguranginya demi maslahat.
Hanya saja, walaupun
mengandung maslahat, penetapan harga oleh penguasa hukumnya haram menurut
padangan jumhur fuqha. Hal ini berdasar atas ucap Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Anas ra:
“Suatu saat di masa Rasulullah SAW harga merangkak naik. Lalu orang-orang mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, patoklah
harga untuk kami‘. Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah-lah yang mematok
harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan sungguh aku berharap untuk
bertemu Allah dalam kondisi tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku
dengan suatu kezaliman, baik dalam darah atau harta‘.“ (HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud)
Juga di dasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra:
“Seorang datang
kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga‘. Beliau
menjawab, ‘Berdo’alah‘. Kemudian datang yang lain dan berkata, ‘Ya Rasulullah,
patoklah harga‘. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah lah yang menurunkan dan
menaikkan harga‘.“ (HR. Abu Dawud)
Kedua hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa ta’sir diharamkan dan merupakan
kedzaliman, yang jika seorang pemerintah melakukan ta’sir maka ia berdosa. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat
berhak mengadukan kepada mahkamah
mazhalim demi pembatalan ta’sir. Pendapat
ini merupakan pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat lainnya,
sebab pada kedua hadits ini terdapat qarinah
(indikasi) yang tegas.
Secara mata manusiawi, perkara ta’sir terlihat menguntungkan bagi masyarakat. Hanya saja, dari
pandangan ekonomis, nyatanya perkara ta’sir
hanya akan memperbutuk suasana. Jika dianalisa, harga yang tinggi adalah
sebab dari meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Contohnya, pada saat
hari raya, permintaan terhadap barang sembako meningkat, oleh karenanya harga
pun merangkak. Sama halnya ketika terjadi kelangkaan elpiji 3kg saat ini karena
kenaikan harga elpiji 12kg, pun demikian harganya ikut merangkak. Jika pada dua
kondisi ini pemerintah menerapkan ta’sir,
maka akan mendorong permintaan baru atau meningkatnya permintaan, serta akan mengecilkan
hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, hal
tersebut akan mendorong produksi dalam negeri untuk mencari pasar luar negeri
(yang tak terawasi), atau menahan produksinya sampai dibekukannya ta’sir, atau tidak adanya keinginan
produsen untuk memproduksi barang. Jika begini, maka suatu negeri akan
kekurangan suplai dan malah menyebabkan permasalahan baru dan membuat harga
semakin menjulang. Artinya, perkara ta’sir
tidak hanya merugikan para produsen dan pemilik barang dalam jangka pendek,
namun dalam jangka panjang menjadi dhoror
bagi seluruh negeri.
Lantas Allah miliki
pengaturan istimewa untuk menjaga harga tetap stabil hingga tak perlu lagi
perkara ta’sir yang memang telah
Allah haramkan. Pengaturan istimewa ini hanya mampu terasa keistimewaannya saat
umat muslim menerapkan semesta syariat Islam dalam kehidupannya, bukan hanya
sebatas ibadah semata. Dengan penerapan Islam secara sempurna maka akan
terbentuk individu yang bertaqwa, kontrol masyarakat, dan pemerintahan yang
berorientasi memenuhi pelayanan kepada masyarakat.
Maka salah satu
perkara yang menyebabkan naiknya harga, yaitu kelangkaan barang akibat maraknya
penimpun, tidak akan eksis dalam masyarakat yang tiap individunya bertaqwa.
Ketaqwaan individu akan membuat mereka mawas diri dan senantiasa menjauhi
perbuatan-perbuatan yang Allah makruhkan apalagi telah nyata keharamannya, seperti
larangan untuk menimbun barang. Dari Sa’id Ibnu Musayyid dari Mu’ammar,
Rasulullah bersabda,
“Siapa saja yang menimbun barang maka ia berdosa.” (HR. Muslim)
Dan perkara lainnya,
yaitu kenaikan harga diakibatkan meningkatnya permintaan, maka negara
berkewajiban untuk menambah suplai dan melakukan pengadaan barangdari wilayah
kaum muslimin lain atau dengan cara impor, bahkan dengan cara membebaskan bea
masuk, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau
menyuplai kebutuhan penduduk Hijaz dengan mendatangkan barang dari Mesir dan
wilayah Syam. Contoh di atas secara gamblang memperlihatkan kepada umat
bagaimana sistem Islam membuat pemerintahan sangat gencar demi memenuhi
kebutuhan masyarakatnya.
Kebijakan ini akan
semakin sempurna dengan sistem ekonomi Islam yang menerapkan mata uang dengan
standart emas dan perak, dimana unsur intrinsik dan ekstrinsik kedua mata uang
ini sama. Oleh karenanya, kenaikan atau penurunan harga keduanya tidak akan
berpengaruh besar terhadap harga barang.
Subhanallah, Maha besar Allah yang
telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya pengaturan yang
mengelilinginya. Maka sungguh, nikmat mana lagi yang engkau dustakan demi
menyadari kekhilafan dan kembali lagi kepada hukum Allah.
Post a Comment