0
[Catatan Harian] (Tak Ada) Kasta dalam Islam
![]() |
tuh kan waktu saya searching google dengan ikhwan dan akhwat yang muncul pasti gambar beginian (from: 4antum.wordpress.com) |
Judul postingan saya sangat jelas to, bahwa tidak ada kasta dalam Islam?
Karena sangat jelas, oleh karenanya saya membuat postingan ini. Saya hanya
mengingatkan bahwa tidak ada kasta dalam Islam. Literally. Dan jika pun Islam mengenal perbedaan, perbedaan itu
lahir dari keimanan pada diri muslim itu sendiri. Walaupun begitu, tampaknya
perbedaan ini yang secara tidak sengaja membuat judgment pada manusia. membuat batasan-batasan sangat jelas. Membuat
kasta.
Saya mendapati satu fakta sebutan ikhwan
dan akhwat. Dalam kamus bahasa
arab manapun ikhwan bermakna saudara
laki-laki, sedangkan akhwat bermakna
saudara perempuan. Ini adalah makna denotatif. Jelas sekali.
Tidak perlu penggalian khusus untuk menyadari bahwa ada konotasi dalam
sebutan ikhwan dan akhwat. Konotasi di sini berdasarkan
pengertian ke arah semiotika, yaitu makna yang terkontruksi berbeda-beda dengan
sendirinya berdasarkan perasaan seseorang. Konotasi yang terbentuk biasanya
karena pengaruh budaya dan timbul pada masyarakat tertentu.
Pengertian di atas sangat tepat disandingkan dengan fakta panggilan ikhwan dan akhwat, karena konotasi ikhwan
dan akhwat berkembang pesat pada
organisasi-organisasi keagamaan. Saya, juga mendapatkan konotasi ikhwan dan akhwat, sejak saya mengikuti rohis di SMA. Yang saya tangkap saat itu, Ikhwan dan
akhwat merupakan panggilan (khusus)
untuk seseorang yang termasuk ke dalam anggota rohis. Untuk para muslimah lebih
terlihat karena panggilan akhwat disematkan
untuk muslimah dengan tampilan kerudung syar’i.
Dalam artian kerudung ekstra panjang. Wah kalo udah liat perempuan dengan
tampilan syar’i atau laki-laki yang
ngatung celananya, udah pati ikhwan dan
akhwat deh. Dan yang nyeleneh adalah,
kami biasa menyebut „cowok biasa“ dan „cewek biasa“ untuk orang-orang di luar
kami. Sangat kasta bukan?
Atau saat
saya masuk kuliah. Saat saya di wawancara demi menjadi pementor di dkm fakultas,
si teteh yang mewawancara takjub karena katanya, sangat sedikit akhwat dari
Sastra Jerman. Saya katakan, di sastra jerman lebih banyak akhwat teh dibanding
ikhwannya. Lalu si teteh mengklarifikasi bahwa akhwat yang dimaksud adalah
perempuan yang “beriman“. Lantas apakah di luar ikhwan dan akhwat secara
konotasi, mereka tidak beriman? Oohh please.
Dalam hati
saya yang paling dalam, saya tidak menyalahkan konotasi ikhwan dan akhwat,
karena pada dasarnya konotasi yang terbentuk adalah konotasi positif. Siapa sih
yang ngga mau dicap dengan sebutan yang positif? Tapi, ada tapinya loh, saya
merasa bahwa panggilan ikhwan dan akhwat juga kurang ditempatkan secara
tepat. Panggilan ini seakan membuat sekat. Membuat jarak di antara kaum muslim
yang pada dasarnya adalah satu tubuh. Satu aqidah. Satu saudara. Tidak ada
sekat di dalamnya. Sungguh, Panggilan ikhwan dan akhwat merupakan panggilan ahsan untuk siapa pun. Siapa pun selama
ia masih seorang muslim. Selama ia masih beriman.
Oleh karenanya,
biarlah perbedaan kadar keimanan, hanya Allah saja yang menyematkan
predikatnya.
Post a Comment