0
[Catatan Harian] Netral
Dahulu,
sangat kusukai posisi ini,
Tak perlu ku
memilih, tak perlu ku memutuskan sesuatu..
Semua sudah
ada yang memikirkan...
Tinggal
tersisa beres saja..
Itu dahulu,
tapi kini....
Masih ada yang memilih untuk netral? Ini
memang pilihanmu untuk menjadi siapapun atau apapun dirimu. Dan aku pun hanya
sekedar membagi pengalaman tentang menjadi netral. Berada di posisi netral.
Dulu, entah mengapa, aku suka sekali berada di
posisi netral. Kurasakan banyak keuntungan berada pada posisi ini. Posisi ini
bagaikan candu yang mengakar. Menyenangkan rasanya ketika dari mulut ini
keluar, “terserah aja deh, aku netral”. Tapi itu dulu...
Memang, ketika pada posisi netral, kita merasa
tidak memilih untuk menjadi apapun. Dan bisa jadi, netral berarti tidak memihak
pada siapapun. Tapi benarkah? Jika kau merasa menjadi netral bukan sebuah
pilihan. Berarti esensi memilih tidak kau ketahui dengan benar. Apapun itu,
adalah sebuah pilihan. Termasuk saat kita berada di pihak netral. Pun netral
berarti memihak. Memihak untuk berada dalam klasifikasi orang-orang putih. Dan
keberpihakan kita pada golongan putih pun menjawab pertanyaan, bahwa netral
belum tentu adil.
Memang enak berada di posisi netral. Kita tak
diharuskan untuk berpikir. Biar saja orang lain yang memikirkan. Tinggal terima
beres. Tak perlu pusing, memilih mana yang paling baik diantara banyak pilihan.
Toh yang akhirnya menang, berarti yang otomatis banyak dipilih dan ada indikasi
pilihan yang baik di sana. Layaknya demokrasi.
Tapi aku salah. Demokrasi pun tak selalu
benar. Dalam demokrasi, suara mayoritas layaknya suara tuhan. Selalu menang.
Tapi suara mayoritas belum tentu benar. Misalkan saja, ada 90 orang (maaf)
wanita pekerja seks komersial dan 10 orang ulama dipertanyakan masalah
pergaulan bebas. Yang mempunyai kesempatan menang jelas para wanita tersebut.
Padahal, ulama memilih sesuatu yang benar.
Maka sangat disayangkan sekali ketika kita
netral pada kondisi seperti ini. Pada saat kebatilan mengalahkan kebaikan.
Walapun memang pada dasarnya, memilih pada kondisi ini juga tidak dapat
dibenarkan. Mengapa masih diperlukan voting,
ketika kita, umat muslim telah memiliki aturan tentang pergaulan pria dan
wanita. Right?
Ada satu saat dimana, aku akhirnya jenuh
berada di posisi ini. Sering sekali, seseorang yang berada di posisi netral
malah harus menjadi penengah diantara orang-orang yang memihak. Hingga netralers ―orang-orang netral― harus
berpikir lebih keras untuk menyatukan pendapat orang-orang yang memihak. Netralers, seakan-akan selalu terjebak
dalam lingkungan yang berada di sekelilingnya. Tak bisa berdiri sendiri. Dan
aku akhirnya memutuskan untuk tak tertarik lagi berada di posisi ini. Move on dari golongan orang-orang putih.
Tapi, selalu ada pengecualian memang.
Aku memang masih menjadi orang yang berada
pada posisi netral saat aku dihadapkan pada pemilu demokrasi. Dalam artian
pesta demokrasi Indonesia. Aku memilih untuk tidak memilih dalam sistem yang
rusak ini. seperti yang sudah kukatakan sebelumnya tentang 90 orang (maaf)
pekerja seks komersial vs 10 orang
ulama. Disamping harus diakui bahwa pendidikan politik masyarakat Indonesia
masih rendah. Salah satunya terlihat pada proses kampanye. Banyak masyarakat
yang tertarik untuk memilih setelah diberi uang sekedarnya bahkan kaos yang
“layak” pakai. Jika memulai sebuah proses pemerintahan dengan “cara-cara”
seperti ini. Entahlah, akan dibawa kemana kepemimpinannya.
Post a Comment