0

[Islamologi] Ikhtilat: Campur Baur Tak Mengenakkan

SONG OF THE DAY
Azzam Voice - Remaja Galau [ download ]

Quelle : dirikudrcinta.blogspot.com

Aku memang mengakui jika es campur enak. Menyegarkan. Dan membuat lega dahaga. Tapi tidak semua yang dicampur itu enak, walau sudah biasa terjadi. Terlebih jika standar perbuatan kita adalah halal-haram syariat. Ialah ikhtilat yang telah membudaya dalam kehidupan kaum muslim. Ikhtilat yang mayoritas berbalut silah ukhuwah (lihat postingan tentang : reuni). Hukum ikhtilat telah jelas keharamannya. Lantas sejauh mana sesuatu dapat dikatakan ikhtilat?


Ikhtilat artinya adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan, dll). (Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm 7)

Jika kita mengacu pada ciri-ciri di atas, kita mendapati satu tempat dimana ikhtilat dipastikan selalu terjadi. Kendaraan umum pada jam-jam sibuk, sangat memungkinkan antara laki-laki dan perempuan terjadi persentuhan, dan saling berdesak-desakan. Atau di tempat-tempat makan, dalam satu meja terdapat laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, mereka makan dan ngobrol bersama. Ini juga disebut dengan ikhtilat.

Di samping haram, ternyata ikhtilat berbahaya juga lo. Terutama untuk kaum perempuan yang senantiasa menjadi korban akibat dari tidak terjalankan aturan Allah untuk perempuan. Seperti memandang aurat, terjadinya pelecehan seksual, terjadinya perzinaan, dan sebagainya.

Dapat kita simpulkan bahwa, sesuatu terkategori ikhtilat jika (1) adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama, misalnya di gerbong kereta yang sama, di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan seterusnya. (2) terjadinya interaksi, berupa pembicaraan, saling menyentuh, bersenggolan, berdesakan, dan sebagainya.

Dengan begitu, jika perempuan dan laki-laki duduk berdampingan di suatu kendaraan umum, tapi tidak terjadi interaksi apa-apa, maka kondisi tersebut tidak termasuk ikhtilat dan hukumnya mubah. Berbeda jika pada perjalanannya terjadi interaksi semisal perbincangan, kenalan, dan seterusnya. Hal ini sudah terkategori ikhtilat dan haram hukumnya. Ikhtilat tidak berlaku jika di antara laki-laki dan perempuan terjadi interaksi pembicaraan, tapi melalui telepon. Hal ini karena mereka tidak berada di satu tempat atau tidak terjadi pertemuan di antara keduanya.

Keharaman ikhtilat didasarkan pada pelanggaran perintah syariah untuk melakukan infishal, yaitu keterpisahan antara komunitas laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan Islami yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW di Madinah saat itu, komunitas laki-laki dan perempuan wajib dipisahkan dalam kehidupan, tidak boleh campur baur. Lihat saja, dalam shalat berjamaah di masjid, shaf laki-laki dan perempuan diatur secara terpisah. Demikian pula setelah selesai sholat jamaah di masjid, Rasulullah SAW mengatur agar jamaah perempuan keluar masjid sebelum laki-laki. Pada saat Rasulullah SAW menyampaikan ajaran Islam di masjid, laki-laki dan perempuan juga terpisah. Ada kalanya terpisah secara waktu, ada kalanya terpisah secara tempat. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima’I fil Islam, hlm. 35-36).

Saya juga pernah mendengar bahwa dalam suatu kekhilafahan, terdapat dua jalur jalan yang khusus dibuat untuk laki-laki dan perempuan agar mereka tidak bertemu. Namun demikian, laki-laki dan perempuan diperbolehkan melakukan ikhtilat dalam kehidupan publik, dengan dua syarat, yaitu:

Pertama, pertemuan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan syariah, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.

Kedua, aktivitas yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya maka hukumnya tetap tidak boleh. Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan adalah jual beli. Ini berbeda dengan aktivitas makan di restoran, yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki secara tersendiri. Maka hukumnya tetap haram. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima’I fil Islam, hlm. 37)

Bagaimana dengan tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan? Hukumnya memang mubah. Misalnya saja, ada seorang perempuan yang pingsan di jalan sedang yang ada di dekatnya hanya seorang laki-laki. Maka mubah untuk menolong perempuan tersebut. Hanya saja, perlu diperhatikan untuk meminta dan memberi pertolongan pada hal-hal yang darurat saja atau memang harus terjadi aktivitas tolong-menolong saja. Jika hal-hal yang wajar, akan lebih baik jika meminta pertolongan terhadap sesama jenis saja.

Sumber jawaban :
Artikel karya KH. M. Shiddiy Al Jawi yang berjudul Bahaya Ikhtilat Menurut Hukum Islam (dengan gubahan dan penambahan dari penulis tanpa perubahan esensi)



0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.