0
[Islamologi] Ikhtilat: Campur Baur Tak Mengenakkan
Posted by Unknown
on
06:10
in
aturan islam,
fiqih kontemporer,
ikhtilat,
islamologi,
kepribadian islam,
khilafah islamiyah
SONG OF THE DAY
Azzam Voice - Remaja Galau [ download ]
![]() |
Quelle : dirikudrcinta.blogspot.com |
Aku memang mengakui jika es campur enak. Menyegarkan. Dan
membuat lega dahaga. Tapi tidak semua yang dicampur itu enak, walau sudah biasa
terjadi. Terlebih jika standar perbuatan kita adalah halal-haram syariat. Ialah
ikhtilat yang telah membudaya dalam kehidupan kaum muslim. Ikhtilat yang
mayoritas berbalut silah ukhuwah (lihat postingan tentang : reuni). Hukum
ikhtilat telah jelas keharamannya. Lantas sejauh mana sesuatu dapat dikatakan
ikhtilat?
Ikhtilat artinya adalah bertemunya laki-laki dan
perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi
interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan,
dll). (Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm 7)
Jika kita mengacu pada
ciri-ciri di atas, kita mendapati satu tempat dimana ikhtilat dipastikan selalu
terjadi. Kendaraan umum pada jam-jam sibuk, sangat memungkinkan antara
laki-laki dan perempuan terjadi persentuhan, dan saling berdesak-desakan. Atau di
tempat-tempat makan, dalam satu meja terdapat laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram, mereka makan dan ngobrol bersama. Ini juga disebut dengan
ikhtilat.
Di samping haram,
ternyata ikhtilat berbahaya juga lo. Terutama untuk kaum perempuan yang
senantiasa menjadi korban akibat dari tidak terjalankan aturan Allah untuk
perempuan. Seperti memandang aurat, terjadinya pelecehan seksual, terjadinya
perzinaan, dan sebagainya.
Dapat kita simpulkan
bahwa, sesuatu terkategori ikhtilat jika (1) adanya pertemuan antara laki-laki
dan perempuan di satu tempat yang sama, misalnya di gerbong kereta yang sama,
di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan seterusnya. (2)
terjadinya interaksi, berupa pembicaraan, saling menyentuh, bersenggolan,
berdesakan, dan sebagainya.
Dengan begitu, jika perempuan
dan laki-laki duduk berdampingan di suatu kendaraan umum, tapi tidak terjadi
interaksi apa-apa, maka kondisi tersebut tidak termasuk ikhtilat dan hukumnya
mubah. Berbeda jika pada perjalanannya terjadi interaksi semisal perbincangan,
kenalan, dan seterusnya. Hal ini sudah terkategori ikhtilat dan haram hukumnya.
Ikhtilat tidak berlaku jika di antara laki-laki dan perempuan terjadi interaksi
pembicaraan, tapi melalui telepon. Hal ini karena mereka tidak berada di satu
tempat atau tidak terjadi pertemuan di antara keduanya.
Keharaman ikhtilat
didasarkan pada pelanggaran perintah syariah untuk melakukan infishal, yaitu
keterpisahan antara komunitas laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan Islami
yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW di Madinah saat itu,
komunitas laki-laki dan perempuan wajib dipisahkan dalam kehidupan, tidak boleh
campur baur. Lihat saja, dalam shalat berjamaah di masjid, shaf laki-laki dan perempuan
diatur secara terpisah. Demikian pula setelah selesai sholat jamaah di masjid,
Rasulullah SAW mengatur agar jamaah perempuan keluar masjid sebelum laki-laki. Pada
saat Rasulullah SAW menyampaikan ajaran Islam di masjid, laki-laki dan
perempuan juga terpisah. Ada kalanya terpisah secara waktu, ada kalanya
terpisah secara tempat. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima’I fil Islam,
hlm. 35-36).
Saya juga pernah
mendengar bahwa dalam suatu kekhilafahan, terdapat dua jalur jalan yang khusus
dibuat untuk laki-laki dan perempuan agar mereka tidak bertemu. Namun demikian,
laki-laki dan perempuan diperbolehkan melakukan ikhtilat dalam kehidupan publik,
dengan dua syarat, yaitu:
Pertama, pertemuan
yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang
dibolehkan syariah, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat
orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.
Kedua, aktivitas yang
dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya maka
hukumnya tetap tidak boleh. Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan adalah jual
beli. Ini berbeda dengan aktivitas makan di restoran, yang dapat dilakukan oleh
seorang perempuan atau laki-laki secara tersendiri. Maka hukumnya tetap haram.
(Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima’I fil Islam, hlm. 37)
Bagaimana dengan
tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan? Hukumnya memang mubah. Misalnya
saja, ada seorang perempuan yang pingsan di jalan sedang yang ada di dekatnya
hanya seorang laki-laki. Maka mubah untuk menolong perempuan tersebut. Hanya saja,
perlu diperhatikan untuk meminta dan memberi pertolongan pada hal-hal yang
darurat saja atau memang harus terjadi aktivitas tolong-menolong saja. Jika hal-hal
yang wajar, akan lebih baik jika meminta pertolongan terhadap sesama jenis
saja.
Sumber jawaban :
Artikel karya KH. M.
Shiddiy Al Jawi yang berjudul Bahaya Ikhtilat Menurut Hukum Islam (dengan
gubahan dan penambahan dari penulis tanpa perubahan esensi)
Post a Comment