0
[Percikan] Ana Ingin Keluar dari Jamaah
Posted by Unknown
on
09:06
in
amalan manusia,
berjama'ah,
dakwah,
istiqomah,
manusia,
pengemban dakwah,
percikan,
surga-neraka
“Ustadzah, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan
rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata
banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang darisah terhadap
musyrifahnya di suatu hari.
Sang musrifah hanya
terdiam, mencoba menggali semua kecamuk dalam diri darisahnya. Sang musrifah
kemudian berkata dengan nada yang teramat halus, “Lalu, apa yang ingin antum
lakukan setelah merasakan semua itu?”.
“Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini. Ana
kecewa dengan perilaku beberapa yang justru tidak islami. Juga dengan
organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi
anggota-anggotanya. Bila begini terus, lebih baik ana berjuang sendiri.“ Sahut darisah
tersebut.
Sang musrifah kembali termenung. Tak sedikitpun raut
terkejut tampak dari roman wajahnya. Sorot matanya pun tenang layaknya air, seolah ia telah
memprediksi jawaban darisahnya. Seolah ia telah mengetahuinya sejak awal.
“Adik, bila suatu kali
antum menaiki sebuah kapal demi mengarungi samudera luas, namun ternyata
keadaan kapal tersebut amat memprihatinkan. Layarnya banyak berlubang, kayunya keropos
sana-sini, bahkan kabinya berbau kotoran manusia. Lantas apa yang akan antum
lakukan untuk sampai tujuan?” tanya sang musrifah melalui analogi yang mampu
menggambarkan kondisi si darisah.
Sang darisah terdiam sejenak sembari berpikir. Tak kuasa
hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui analogi yang menusuk. Tak
kunjung mendapat jawaban, Sang musrifah kembali bertanya, “Apakah antum memilih
untuk terjun ke laut dan berenang hingga tujuan?
Bila antum memilih demikian, antum memang akan merasa
senang karena terbebas dari bau kotoran manusia dan merasakan kesegaran air
laut. Atau mungkin antum bebas bermain dengan ikan-ikan dil lautan. Tapi sayangnya
itu hanya sesaat. Bagaimana mungkin antum mampu berenang tanpa batas? Bagaimana
bila hiu mendekat? Darimana datangnya minuman di kala haus dan makanan di kala
lapar? Bagaimana jika badai menyapa? Bagaimana antum sanggup bertahan melewati
dinginnya hawa malam hari?“
Pertanyaan demi pertanyaan yang menyeruak dari bibir sang
musrifah menyesakkan dada si darisah. Ia tak sanggup menahan tangis atas
kebodohannya. Atas pemikirannya yang sangat pendek. Atas terbersitnya keinginan
untuk menghentikan langkahnya di jalan dakwah.
“Ana sadar ustadzah. Maafkan ana. InsyaAllah ana akan tetap istiqomah. Ana sadar bahwa dakwah
membutuhkan keikhlasan dan pengorbanan yang tidak sedikit.“ Sang darisah berazzam di depan musrifah yang semakin ia hormati.
“Dan ingatlah ini selalu dik, jamaah ini adalah jamaah
manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang mempunyai banyak kelemahan. Tapi bukan
itu yang seharusnya kita fokuskan hingga kita lupa masih teramat banyak kebaikan
yang mereka miliki. Mereka adalah
pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu,
mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah. Dan di mata
Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.
Futur, mundur, kecewa, atau bahkan berpaling menjadi
lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu
disikapi dengan jalan demikian, maka kapankan dakwah ini mampu berjalan dengan
baik?
Adik, kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa
berkomentar panjang lebar tanpa memperhatikan solusi. Atau hanya pandai
menuding-nuding sebuah kesalahan. Kita adalah da’i yang beraktifitas amar ma’ruf nahi munkar. Betul?“
“Ana mengerti ustadzah. Tapi bagaimana ana mampu
memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?“ Sang
darisah melontarkan pertanyaan konstruktif. Pertanyaan yang dapat membangun
dakwah. Pertanyaan yang muncul melalui kepeduliaannya terhadap dakwah.
“Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah
mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia mempunyai kapasitas berbeda-beda,
namun tak ada yang mampu memastikan secara tepat yang satu lebih baik daripada
lainnya.
Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah thausiyah dalam
kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang kepada semua yang terlibat dalam
organisasi itu, sebab nasehat adalah harta bagi orang yang beriman. Jika terdapat
isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan segera bertaubat. Singkirkan segala
ghil (dengki, benci, iri hati) antum
terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak menemui
mulianya.“
Percikan ini saya dapatkan dari sebuah grup yang
berisikan para pejuang syariah dan khilafah. Percikan yang insyaAllah semakin meneguhkan perjuangan
untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi lautan dakwah yang tak
pernah tenang. Futur, mundur, dan melawan arus bukanlah logika dan tindakan
rasional seorang hamba yang amat terobsesi dengan syurga. Jelas. Istiqomah merupakan harga yang tak
ternilai, maka menjaganya haruslah hati-hati. Oleh karenanya, aktivitas dakwah
mesti ditekuni dengan serius ditopang dengan usaha yang sedikit lebih keras. Dengan
pengorbanan yang sedikit lebih besar. Penantian yang sedikit lebih sabar. Serta
mata yang senantiasa melihat dengan keyakinan bahwa syurga sudah dalam dekapan.
Post a Comment