0

[Percikan] Ana Ingin Keluar dari Jamaah

“Ustadzah, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang darisah terhadap musyrifahnya di suatu hari.

Sang musrifah hanya terdiam, mencoba menggali semua kecamuk dalam diri darisahnya. Sang musrifah kemudian berkata dengan nada yang teramat halus, “Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?”.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, lebih baik ana berjuang sendiri.“ Sahut darisah tersebut.

Sang musrifah kembali termenung. Tak sedikitpun raut terkejut tampak dari roman wajahnya. Sorot matanya pun tenang layaknya air, seolah ia telah memprediksi jawaban darisahnya. Seolah ia telah mengetahuinya sejak awal.

“Adik, bila suatu kali antum menaiki sebuah kapal demi mengarungi samudera luas, namun ternyata keadaan kapal tersebut amat memprihatinkan. Layarnya banyak berlubang, kayunya keropos sana-sini, bahkan kabinya berbau kotoran manusia. Lantas apa yang akan antum lakukan untuk sampai tujuan?” tanya sang musrifah melalui analogi yang mampu menggambarkan kondisi si darisah.

Sang darisah terdiam sejenak sembari berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui analogi yang menusuk. Tak kunjung mendapat jawaban, Sang musrifah kembali bertanya, “Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang hingga tujuan?

Bila antum memilih demikian, antum memang akan merasa senang karena terbebas dari bau kotoran manusia dan merasakan kesegaran air laut. Atau mungkin antum bebas bermain dengan ikan-ikan dil lautan. Tapi sayangnya itu hanya sesaat. Bagaimana mungkin antum mampu berenang tanpa batas? Bagaimana bila hiu mendekat? Darimana datangnya minuman di kala haus dan makanan di kala lapar? Bagaimana jika badai menyapa? Bagaimana antum sanggup bertahan melewati dinginnya hawa malam hari?“

Pertanyaan demi pertanyaan yang menyeruak dari bibir sang musrifah menyesakkan dada si darisah. Ia tak sanggup menahan tangis atas kebodohannya. Atas pemikirannya yang sangat pendek. Atas terbersitnya keinginan untuk menghentikan langkahnya di jalan dakwah.

“Ana sadar ustadzah. Maafkan ana. InsyaAllah ana akan tetap istiqomah. Ana sadar bahwa dakwah membutuhkan keikhlasan dan pengorbanan yang tidak sedikit.“  Sang darisah berazzam di depan musrifah yang semakin ia hormati.

“Dan ingatlah ini selalu dik, jamaah ini adalah jamaah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang mempunyai banyak kelemahan. Tapi bukan itu yang seharusnya kita fokuskan hingga kita lupa masih teramat banyak kebaikan  yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah. Dan di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.

Futur, mundur, kecewa, atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan demikian, maka kapankan dakwah ini mampu berjalan dengan baik?

Adik, kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar panjang lebar tanpa memperhatikan solusi. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kita adalah da’i yang beraktifitas amar ma’ruf nahi munkar. Betul?“

“Ana mengerti ustadzah. Tapi bagaimana ana mampu memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?“ Sang darisah melontarkan pertanyaan konstruktif. Pertanyaan yang dapat membangun dakwah. Pertanyaan yang muncul melalui kepeduliaannya terhadap dakwah.

“Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia mempunyai kapasitas berbeda-beda, namun tak ada yang mampu memastikan secara tepat yang satu lebih baik daripada lainnya.

Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah thausiyah dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang kepada semua yang terlibat dalam organisasi itu, sebab nasehat adalah harta bagi orang yang beriman. Jika terdapat isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan segera bertaubat. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak menemui mulianya.“


Percikan ini saya dapatkan dari sebuah grup yang berisikan para pejuang syariah dan khilafah. Percikan yang insyaAllah semakin meneguhkan perjuangan untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi lautan dakwah yang tak pernah tenang. Futur, mundur, dan melawan arus bukanlah logika dan tindakan rasional seorang hamba yang amat terobsesi dengan syurga. Jelas. Istiqomah merupakan harga yang tak ternilai, maka menjaganya haruslah hati-hati. Oleh karenanya, aktivitas dakwah mesti ditekuni dengan serius ditopang dengan usaha yang sedikit lebih keras. Dengan pengorbanan yang sedikit lebih besar. Penantian yang sedikit lebih sabar. Serta mata yang senantiasa melihat dengan keyakinan bahwa syurga sudah dalam dekapan.



0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.