0

[Ala Rasul] Managemen Manusia

Setiap manusia paling tidak memiliki tanggung jawab untuk memanagemen dirinya sendiri dan mungkin memiliki kesempatan untuk memanagemen manusia lain. Memimpin manusia. Karena dunia ini sudah berputar sekilan lamanya, tentu sudah banyak berbagai rupa ciri dan karakter pemimpin. Ada yang lembut, tegas ―jika tak ingin dikatakan galak―, ngga enakan, mengayomi lagi meriayah, cuek, dan banyak lainnya. Pun banyak pula cara pendekatan pemimpin kepada yang ia pimpin.

Jika membahas pemimpin kekinian, ada tipikal umum cara pendekatan kepada yang ia pimpin. Pertama, saya melihat, khususnya pada masyarakat Indonesia, masih tertarik dengan sosok pemimpin yang baik. Artinya pendekatan dengan mencitrakan dirinya adalah pemimpin yang baik, yang memotivasi lagi menginspirasi akan diterima secara terbuka oleh masyarakat. Kedua, karena manusia alaminya memiliki kebutuhan jasmani serta naluri-naluri yang mengelilinginya, maka pendekatan dalam bentuk materi, juga memungkinkan diterima oleh masyarakat. Oleh karenanya, masih eksis saja kisah suap demi mengambil hati rakyat.


Menilik apa yang saya sebutkan di atas, tidak kasar rasanya jika saya menyebutkan bahwa tipe pemimpin ―di luar karakteristik yang ada dalam dirinya― yang dilahirkan sistem kapitalisme adalah tipikal penjilat. Saya pun teringat saat pembahasan kitab Daulah Islamiyah yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bab bai’at aqobah kedua untuk an-Nushroh atas kepemimpinan Rasul sebagai kepala negara oleh penduduk Madinah, setelah sebelumnya bai’at aqobah pertama terkait keimanan.

Bai’at ini terjadi ketika memasuki sepertiga malam di hari kedua dari hari Tasyrik. 12 orang pemuka masyarakat Madinah berkesempatan untuk berdialog dengan Rasulullah di Aqobah yang pada saat itu ditemani oleh pamannya Abbas bin Abdul Muththalib. Abbas layaknya pengganti Abu Thalib, pendukung dari golongan non muslim. Ya. Pada saat itu, Abbas masih menganut agama kaumnya, hanya saja dia senang menghadiri urusan yang menyangkut keponakannya.

Ketika mereka telah berkumpul, maka Abbas adalah orang pertama yang berbicara. Dia berkata: “Wahai kaun Khazraj, sebagaimana yang kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaummnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk pergi mendatangi kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang menyalahinya. Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan melalaikan dan menelentarkannya setelah kalian bersamanya, maka mulai saat ini tinggalkan dia.“

Percakapan pembuka yang saya tuliskan di atas adalah bagaimana penduduk Madinah digambarkan oleh Abbas konsekuensi saat membai’at Rasul sebagai pemimpin mereka. Sungguh, perkataan di atas jauh panggang dari api dari pendekatan pencitraan maupun janji-janji materiil.

Belum cukup, bahkan Abbas pun menambahkan kata-kata yang dapat membuat bulu kuduk meremang. Menciutkan hati para pendengarnya. Dia berkata: “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna membai’at laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membai’atnya untuk memerangi manusia baik yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya itu adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambilah dia, dan demi Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat!“.

Kaum Khazraj pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski dengan resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka. Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu.“ Rasul menjawab dengan tenang, “Surga.“. seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tangannya masing-masing lalu menggenggam tangan beliau dan membai’atnya.

Sungguh, apa yang penduduk Madinah berikan kepada Rasulullah adalah sebenar-benarnya loyalitas kepada pemimpinnya. Tak ada iming-iming harta benda, kesuksesan, lagi naiknya pangkat. Pun tak ada politik pencitraan atas sosok Muhammad yang agung. Loyalitas yang bersumber dari cahaya mabda dalam hati yang jernih lagi cemerlang. Maka untuk sebuah loyalitas yang sempurna dan pengorbanan yang pasti berada di depan mata, Rasulullah menghadiahkan surga. Sayangnya, kisah serupa tak pernah eksis di masa ini karena yang ada adalah krisis kepercayaan terhadap pemimpin yang tidak berujung. Kesempurnaan loyalitas seakan menjadi sesuatu yang melangit saat ini.

Maka layaknya Rasulullah, sebagai pemimpin, yang mendapatkan sebenar-benarnya loyalitas dari kaumnya hingga sanggup mengorbankan harta bahkan jiwanya demi Rasulullah. Yang tidak hentinya mendapatkan dukungan bahkan tameng perlindung dari golongan non muslim. Yang tetap memiliki citra positif dari musuh-musuh yang sungguh membencinya. Yang layak mendapat pertolongan Allah.

Akankan ada sosok pemimpin yang mampu memanagemen manusia layaknya Rasulullah?



0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.