0
[Ala Rasul] Managemen Manusia
Posted by Unknown
on
09:00
in
ala rosul,
bai'at,
daulah islamiyah,
khilafah islamiyah,
manusia,
pemerintah,
pemimpin,
rasulullah,
syariah dan khilafah
Setiap manusia paling tidak memiliki tanggung jawab untuk memanagemen
dirinya sendiri dan mungkin memiliki kesempatan untuk memanagemen manusia lain.
Memimpin manusia. Karena dunia ini sudah berputar sekilan lamanya, tentu sudah
banyak berbagai rupa ciri dan karakter pemimpin. Ada yang lembut, tegas ―jika tak ingin dikatakan galak―, ngga enakan, mengayomi lagi meriayah, cuek, dan banyak lainnya. Pun banyak
pula cara pendekatan pemimpin kepada yang ia pimpin.
Jika membahas
pemimpin kekinian, ada tipikal umum cara pendekatan kepada yang ia pimpin. Pertama,
saya melihat, khususnya pada masyarakat Indonesia, masih tertarik dengan sosok
pemimpin yang baik. Artinya pendekatan dengan mencitrakan dirinya adalah
pemimpin yang baik, yang memotivasi lagi menginspirasi akan diterima secara
terbuka oleh masyarakat. Kedua, karena manusia alaminya memiliki kebutuhan
jasmani serta naluri-naluri yang mengelilinginya, maka pendekatan dalam bentuk
materi, juga memungkinkan diterima oleh masyarakat. Oleh karenanya, masih eksis
saja kisah suap demi mengambil hati rakyat.
Menilik apa
yang saya sebutkan di atas, tidak kasar rasanya jika saya menyebutkan bahwa
tipe pemimpin ―di luar karakteristik yang ada dalam dirinya― yang dilahirkan
sistem kapitalisme adalah tipikal penjilat. Saya pun teringat saat pembahasan kitab
Daulah Islamiyah yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bab bai’at
aqobah kedua untuk an-Nushroh atas kepemimpinan
Rasul sebagai kepala negara oleh penduduk Madinah, setelah sebelumnya bai’at
aqobah pertama terkait keimanan.
Bai’at ini
terjadi ketika memasuki sepertiga malam di hari kedua dari hari Tasyrik. 12
orang pemuka masyarakat Madinah berkesempatan untuk berdialog dengan Rasulullah
di Aqobah yang pada saat itu ditemani oleh pamannya Abbas bin Abdul Muththalib.
Abbas layaknya pengganti Abu Thalib, pendukung dari golongan non muslim. Ya. Pada
saat itu, Abbas masih menganut agama kaumnya, hanya saja dia senang menghadiri
urusan yang menyangkut keponakannya.
Ketika mereka
telah berkumpul, maka Abbas adalah orang pertama yang berbicara. Dia berkata: “Wahai kaun Khazraj, sebagaimana yang kalian
ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami. Kami telah
menjaganya dari ancaman kaum kami yang juga memiliki kesamaan pandangan dengan
kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaummnya dan disegani di negerinya. Akan tetapi
semuanya dia tolak, kecuali untuk pergi mendatangi kalian. Jika kalian
menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia dakwahkan, maka
penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang menyalahinya.
Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian
akan melalaikan dan menelentarkannya setelah kalian bersamanya, maka mulai saat
ini tinggalkan dia.“
Percakapan
pembuka yang saya tuliskan di atas adalah bagaimana penduduk Madinah
digambarkan oleh Abbas konsekuensi saat membai’at Rasul sebagai pemimpin mereka.
Sungguh, perkataan di atas jauh panggang dari api dari pendekatan pencitraan
maupun janji-janji materiil.
Belum cukup,
bahkan Abbas pun menambahkan kata-kata yang dapat membuat bulu kuduk meremang.
Menciutkan hati para pendengarnya. Dia berkata: “Wahai kaum Khazraj, apakah kalian menyadari makna membai’at laki-laki
ini? Sesungguhnya kalian membai’atnya untuk memerangi manusia baik yang
berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta benda kalian habis
diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian akan
menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya itu
adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian
akan memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau
harus kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambilah dia, dan demi
Allah hal itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat!“.
Kaum
Khazraj pun menjawab, “Sesungguhnya kami
akan mengambilnya meski dengan resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya
para pemuka. Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu.“ Rasul
menjawab dengan tenang, “Surga.“.
seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tangannya masing-masing lalu
menggenggam tangan beliau dan membai’atnya.
Sungguh,
apa yang penduduk Madinah berikan kepada Rasulullah adalah sebenar-benarnya loyalitas
kepada pemimpinnya. Tak ada iming-iming harta benda, kesuksesan, lagi naiknya
pangkat. Pun tak ada politik pencitraan atas sosok Muhammad yang agung. Loyalitas
yang bersumber dari cahaya mabda dalam hati yang jernih lagi cemerlang. Maka
untuk sebuah loyalitas yang sempurna dan pengorbanan yang pasti berada di depan
mata, Rasulullah menghadiahkan surga. Sayangnya, kisah serupa tak pernah eksis
di masa ini karena yang ada adalah krisis kepercayaan terhadap pemimpin yang
tidak berujung. Kesempurnaan loyalitas seakan menjadi sesuatu yang melangit
saat ini.
Maka layaknya
Rasulullah, sebagai pemimpin, yang mendapatkan sebenar-benarnya loyalitas dari
kaumnya hingga sanggup mengorbankan harta bahkan jiwanya demi Rasulullah. Yang tidak
hentinya mendapatkan dukungan bahkan tameng perlindung dari golongan non muslim.
Yang tetap memiliki citra positif
dari musuh-musuh yang sungguh membencinya. Yang layak mendapat pertolongan
Allah.
Akankan ada sosok pemimpin yang mampu memanagemen manusia layaknya
Rasulullah?
Post a Comment