0
[Islamologi] Memahami Predikat Perbuatan Hasan dan Qobih
Posted by Unknown
on
07:20
in
aturan islam,
blogging,
dakwah,
hasan-qabih,
hizbut-tahrir,
islamologi,
khayr-syarr,
mafahim,
one day one posting,
ust. taqiyuddin an-nabhani
Day 03 of 99
Perbuatan manusia
sesungguhnya adalah materi belaka. Ia mampu dijangkau dan diindera. Oleh karenanya manusia membuat penentuan terhadap predikat perbuatan
yang dilakukan. Entah mereka sifati dengan khayr-syarr
atau hasan-qabih. Hanya saja
penentuan predikat perbuatan tidak bisa disifati melalui zatnya. Predikat perbuatan
sesungguhnya bisa ditentukan melalui unsur luar. Saya menganalogikan layaknya
kalimat utuh. Jika hanya terdapat predikat saja, maka kalimat tersebut menjadi
bias. Untuk memahami predikatnya, kita membutuhkan subjek, objek, dan
keterangan.
Ust.
Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam kitab Mafahim Islamiyah bahwa, unsur
luar yang mampu menentukan predikat sebuah perbuatan apakah khayr-syarr adalah motif dan tujuan
manusia demi melakukan perbuatan yang berimbas pada qimatul amal. Sedangkan untuk
menentukan hasan-qabihnya perbuatan
dilihat dari ukuran yang dipakai oleh manusia. Apakah ia menggunakan akal atau
syariat saja, menggunakan syara yang diperkuat akal, atau akal yang dibenarkan
syara.
Untuk membahas
secara mendetail tentang hasan-qabih,
maka perlu ditilik lebih jauh fakta dan sejarah pemikirannya. Mengapa demikian?
Karena sebelumnya, Islam tidak pernah mempermasalahkan perkara hasan-qabih. Perkara hasan-qobih adalah perkara konotasi dan
istilah yang muncul di tengah masyarakat. Istilah ini berkembang dan
dikembangkan pertama kali oleh filsuf barat, dimana pangkal dari filosofi
adalah seni dalam bertanya. Pada saat itu, orang-orang (termasuk ahli kalam) mempertanyakan
dan mencari tahu tentang WISDOM “Kebijaksanaan”
dan ingin mencapai derajat tersebut. Mereka percaya, jalan untuk mencapainya
adalah dengan mengetahui apa-apa yang haq.
Dan dari sinilah akhirnya muncul berbagai ukuran untuk menentukan hasan-qabihnya perbuatan. Berbagai macam
ukuran yang muncul ini sukses untuk menambah perdebatan yang melelahkan.
Jika kita melirik
filsuf hindu yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka menentukan hasan-qobih dengan menggunakan akal saja.
Pandangan filsuf hindu ini menular dan menyebar kepada ahli
kalam. Mu’tazilah misalnya, juga memandang penentuan hasan-qobih dengan akal. Pandangan ini pun dibantah tegas oleh ahlu
sunnah yang berpendapat bahwa kesemuanya harus distandartkan pada syara.
Ukuran untuk menentukan hasan-qabihnya perbuatan oleh Ust.
Taqiyuddin an-Nabhani diklasifikasikan berdasarkan tiga objek pembahasan, yaitu
(1) mahiyah (fakta zatnya), (2)
kesesuaian dengan tabiat manusia & kecenderungan fitrahnya, serta (3) pahala
dan dosa. Ust. Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa yang berkaitan dengan
objek pembahasan ketiga, maka mutlak menggunakan hukum syara. Akal tak ada sama
sekali hak untuk menentukan. Dan untuk objek pembahasan pertama dan kedua,
manusia bisa (tapi tidak mutlak) menentukan hasan-qabihnya
dengan menggunakan akal.
Maksudnya? Objek pembahasan
pertama, yaitu mahiyah (fakta zatnya),
sebetulnya digunakan untuk mensifati benda. Walaupun benda dan perbuatan
sama-sama materi, namun sesungguhnya mereka berbeda. Benda dapat dengan mudah
diindera fakta zatnya. Apakah ia manis, asin, cantik, seram. Manusia mampu
menilainya dengan akal. Namun berbeda cerita jika kita berbicara tentang halal-haram,
tentu, akal tidak mampu bermain di sini. Mengapa daging babi diharamkan padahal
rasanya enak? Mengapa khamr diharamkan padahal mampu menghangatkan di kala
dingin?
Pun demikian dengan objek
pembahasan kedua, yaitu kesesuaian tabiat dan fitrah manusia, tidak bisa mutlak
menggunakan ukuran akal. Perubahan manusia adalah sebuah keniscayaan. Dulu kafir,
sekarang beriman. Dulu penurut, sekarang pembangkang. Sungguh manusia mampu berubah
sesuai dengan lingkungan, konteks zaman, serta kepentingan. Indonesia saja yang
dulu termahsyur karena budaya sopan-santunnya, kini budaya tersebut mulai tergerus
zaman.
Walhasil, syariat
merupakan satu-satunya tolak ukur universal dalam menghukumi predikat hasan-qabih suatu perbuatan. Al-Qur’an dan
hadits sungguh mampu menghukumi perbuatan manusia dalam konteks dan zaman
apapun. Al-Qur’an dan hadits sungguh mampu menjadi way of life bagi kaum muslim di manapun
dan pada masa apapun. Oleh karenanya, beliau merumuskan kaidah:
“Terpuji (hasan) adalah apa saja yang dinyatakan
terpuji oleh syariat, sedangkan tercela (qabih) adalah apa saja yang dinyatakan
tercela oleh syariat.”
Post a Comment