0
[Catatan Harian] Mitos sebagai Tanda
Posted by Unknown
on
00:03
in
catatan harian,
gunung pegat,
khilafah islamiyah,
khurafat,
memori,
mitos,
puzzle kehidupan,
turki utsmani,
wonogiri
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhs-1t-q2axPRhpU4wRg58G6BlxBSuTFZlVmnDG-q4D_xgWH8q_Z5a4jH6Kk3JkLZGHjZ7EwVHl5sCo3t03ZWa3zg6QR0HkTCWyK8d6NkczHF4DLpJ5mnDRV-0qf4WGFnZgOEzhWb8nxzai/s400/gunung.jpg)
Saat saya mengetik “Mitos di jawa’’ di laptop. Beberapa detik kemudian, seperti sihir, beribu-ribu hasil muncul dilayar. Lewat mata kuliah semiotik, saya mengetahui bahwa mitos tidak semata-mata sebuah nama dan sekedar kepercayaan. Di lihat dari sisi ilmiah, mitos sangat berkaitan dengan simbol. Sebuah tanda yang timbul akibat kesepakatan yang terjalin ―Aming menyebutnya sebagai konspirasi―. Bahasa merupakan contoh dari eksistensi simbol. Kita sepakat bahwa huruf yang menyerupai segitiga disebut huruf A kapital.
Kembali
lagi pada mitos yang saya telusuri. Tersebutlah mitos yang kemudian menarik
perhatian dan membuat saya mengingat satu memori. Tertulis di sebuah blog
―kalau tidak salah ingat―, “Jika kita akan menikah. Dan di perjalanan ke tempat
resepsi melewati gunung pegat, maka rumah tangganya akan rentan dengan
perceraian.”
Ya, mitos ini membangkitkan memori. Dulu sekali, saya sudah pernah
mendengar mitos ini. Sekitar dua tahun lalu saat kami sekeluarga dalam perjalanan menuju tempat Ayah dibesarkan. Ayah menuturkan mitos ini. Dengan sangat gamblang. Dengan sangat jelas. Dan
beginilah saya,
dengan khidmad mendengarkan sejarah keluarga kami.
Dulu sewaktu ayah dalam perjalanan ke rumah Ibu. Hari
dimana semuanya akan berbeda mulai hari
itu. hari pernikahan mereka. 21 April 1991. Almarhum Mbah Kakung meminta
ayah untuk tak melewati jalan yang biasa dilewati untuk ke kota. Padahal jalan
tersebut adalah rute tercepat. Jalan memotong
untuk mencapai kediaman ibu.
Permintaan tersebut adalah
karena sebuah mitos. Ya, mitos yang
baru aku ingat setelah tadi sibuk menelusur internet. “Jika kita akan menikah.
Dan di perjalanan ke tempat resepsi melewati gunung pegat, maka rumah tangganya
akan rentan dengan perceraian.”
Gunung pegat. Sebuah istilah yang dibuat untuk
mendeskripsikan perpotongan antara gunung satu dan gunung lainnya. Analoginya
adalah gambar dua buah gunung yang gemar sekali dibuat anak Indonesia. Potongan
gambar yang tampak mengerucut ke bawah, itulah yang disebut gunung pegat.
Letaknya di kawasan Ngadiroyo, kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri.
Dan permasalahannya, jalan yang biasa kami lewati
―yang juga aku lewati saat ayah menceritakan kisah ini― terletak di
tengah-tengah gunung pegat. Dan mitos ini yang membuat Mbah Kakung khawatir.
Ayah akhirnya memilih menuruti kekhawatiran Mbah dengan mengambil jalan memutar
dengan waktu yang lebih lama. Bukan. Bukan karena Ayah percaya akan mitos
tersebut. Ayah hanya menenangkan hati Mbah
Kakung.
Ya, mitos memang masih erat dalam masyarakat
Indonesia. Ia selalu terpelihara lantaran efektif dalam proses pembelajaran.
Seringkali mitos bisa dicerna dengan akal, tatkala ia pun lantaran sesuai
dengan cara Islam bekerja. Seringkali jua ia menjadi sebuah hal yang tidak make sense, kita
hanya dituntut untuk percaya. Tanpa tanya. Tanpa diskusi terkait. Stagnan
dengan kata “Udah dari sananya.”
Seorang muslim yang cerdas tak perlu ragu dalam
menyikapi sebuah mitos. Ia akan secara sadar. Tak perlu ditakut-takuti ―dalam
tanda petik― oleh mitos sehingga ia takkan melakukan hal tersebut. Misalnya,
terkait mitos “Kalau mau maghrib ngga boleh keluar, nanti diculik wewe gombel”.
Toh, tanpa adanya mitos tersebut seorang muslim memang seharusnya berada di
ruangan untuk akhirnya sholat. Syukur-syukur sholat berjama’ah.
Mitos, sekali lagi, tidak boleh hanya dipandang
sebagai mitos. Ada simbol dan maksud yang tertanam di dalamnya. Seringnya mitos
dapat mengantarkan dan menjerumuskan muslim sedalam-dalamnya pada syirik. Percaya
sesuatu selain apa yang telah digariskan Allah SWT. Mitos sekaligus menjadi penanda
kebodohan kaum muslim dan jauhnya mereka dengan syariat Allah.
Oleh karena itu, Bagi
seorang muslim, cukuplah Allah SWT sebagai tonggak perbuatan apa yang akan
dilakukan. Benar dan salahnya juga tak melenceng dari aturan Allah SWT. Selalu
menghadirkan Allah di setiap perbuatannya. Seperti ungkapan Ust. Yusuf Manshur
: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
Post a Comment