0
[Islamologi] Susunan Puzzle yang Utuh : Keimanan yang Kaffah
Dan bahwa Islam adalah
kebenaran. Dapat dipastikan adanya.
Tak hanya sebatas
dogma. Ini rasional. Dapat dibuktikan.
Telah kutuliskan fakta masuk akal eksistensi Allah swt, role model sempurna, Rasulullah, dan kemulian penciptaan Al-Qur’an.
Tak ada alasan lagi kini, ketika
sebuah pertanyaan terlempar : “Kenapa kamu beragama Islam?” dengan mantab, kini
terjawab. “Karena Islam rasional”. Tak ada lagi jawaban, “Mmm, karena kebetulan
keluarga saya Islam”. Atau “karena cinta, saya masuk Islam”.
Jika islam dianut atas keraguan dan
perasaan, maka tak akan sempurna keimanannya. Keimanan bukan faktor genetik
yang mampu diturunkan. Orangtua seorang ulama belum tentu Sang anak ulama. Keimanan
tak lagi murni jika sebab ihwalnya pernikahan. Karena manusia.
Tak ada ketundukan di dalamnya. Sami’na
wa ato’na (saya mendengar dan saya taat). Karena pola pikirnya tidak
seimbang dengan pola sikap. Islam sih. Tapi liberal. Ngga sholat. Ngga
berkerudung dan berjilbab. Pacaran, nanti-nanti aborsi. Bahkan nol kepedulian
terhadap sesama muslim.
Inilah yang terjadi di seluruh
penjuru negri-negri Islam. Tanpa terkecuali. Keimanan yang utuh, semakin hari
semakin terkikis. Banyak faktor memang. Dimulai dari faktor individu itu
sendiri, kontrol masyarakat dan negara.
Dari faktor individunya. Kita
mengindera lemahnya keimanan ummat islam. Islam dimomor sekiankan. Lupa. Allah
swt sang Maha Pemberi. Sibuk mencari kebahagiaan yang terukur hanya dengan
harta. Rendah. Tapi begitulah wajah umat muslim kini. Bukan umat terbaik.
Kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh
kepada yang makruf, mencegah yang munkar,
dan
beriman kepada Allah. (Ali Imran [3]: 110)
Mungkin Allah SWT salah. Aahh.. tapi Allah tak pernah salah. Hanya kita
saja yang menjauh dari Islam, terpesona oleh kemilau dunia. Buta. Tidak bisa
lagi membedakan sunnah dan wajib. Terindera dari lebih banyaknya jama’ah sholat
hari raya dibanding sholat jum’at. Atau bahkan malah sering melalaikan yang
wajib? Jika dilihat dari presentasi muslimah yang tak menutup aurat.
Individu yang ngaco seperti ini bisa ditutupi bila ada kontrol masyarakat
yang baik. Memiliki solidaritas tinggi. Melakukan aktifitas amar ma’ruf nahi
munkar. Individu yang ngaco pun akhirnya tersadar dari aktifitas tak syar’inya. Tapi ini adalah kondisi
masyarakat yang ideal. Fakta kekinian Indonesia tak menunjukkan masyarakat yang
100% ideal. Masyarakat tak lagi memaknai satu kesatuan. Seperti di pelajaran
kewarganegaraan yang paling diingat, bahwa haruslah kita mendahului kepentingan
umum dibandingkan pribadi. Itu dulu, ketika budaya ketimuran masih mendominasi.
Berbeda dengan sekarang yang lebih menjunjung individualitas. Maka peran
kontrol masyarakat pun terdegradasi.
Peran negara adalah puncak solusi yang paling besar. Negara yang mampu
mengondisikan masyarakatnya menjadi masyarakat yang islami. Membuat sekat dan
batas sesuai dengan standardisasi hukum Allah SWT. Namun kondisi negara ―di
Indonesia saja― tidak merepresentatifkan demikian. Yang ada negara lewat tangan
pemerintah sibuk memperkaya diri, lupa akan janji manis saat kampanye. Korupsi
merajalela. Kpk yang sejatinya dibentuk untuk memberantas korupsi, sampai
sekarang tak mampu. Indonesia pun tak mampu berdikari ―seperti yang pernah
disumpahkan Bung Karno―. Sibuk menjilat pada asing. Lupa pada masyarakat. Bagaimana
pula memikirkan perkara keimanan umat? Yang sifatnya individualistis.
Ingatkah engkau pada Umar? Salah satu khalifah ―pengganti― Rasulullah. Beliau
secara masif terjun ke masyarakat, memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat. Sampai
menanyakan perkara shalat.
Keimanan memang perkara individu. Tapi negara
memiliki tanggung jawab untuk menjaga keimanan tersebut. Dalam arti lain, negara
menjauhkan kaum muslim dari ―contohnya― misionaris. Sehingga mudah umat muslim memiliki
ketundukan terhadap aturan Allah SWT. Tak ada lagi alasan “belum dapat hidayah”
atau “belum siap”.Begitulah keimanan terbentuk. Ia lahir dari pemikiran yang mendalam bukan sekedar perasaan. Ditopang oleh individu itu sendiri. Dibentengi oleh kontrol masyarakat. Terjaga oleh negara. Dan keimanan takkan mengalami pasang surut. Ia akan stabil. Cenderung meningkat. Keimanan yang sangat idealis manakala dakwah dan jihad hidup.
Post a Comment