0

[Catatan Harian] Kinder- und Jugendliteratur




             Lagi-lagi kubagikan kisahku saat kuliah di semester lima ini. Dan seperti yang sebelumnya, aku pun akan membagi kisah salah satu mata kuliah yang kuambil. Inilah yang terjadi ketika kita belajar bahasa. Kita tak hanya belajar bahasanya saja. I mean, hanya lancar cap-cis-cus bahasa Jerman. Kita juga dituntut memahami budaya yang ada. Budaya yang berbeda dengan yang ada di Indonesia. Jadi kalau ada yang bilang belajar bahasa itu mudah. Detik itu juga aku akan ehmmmmm― memberikan pandangan Haha saat sedang sebal. Who is Haha? Just search in Google.

            Well, sebenarnya mata kuliah ini adalah sub bab ―jika bisa kusebut demikian― dari literatur Jerman. Dan semester ini kami memfokuskan pada Kinder- und Jugendliteratur. Dalam bahasa Indonesia dikenal sastra anak. Sastra anak ini seperti pemanasan agar kita terbiasa untuk membaca. “Orang Indonesia, mereka lebih suka facebookan dan twitteran dibanding membaca”. Kata dosen nativku. Dan selanjutnya beliau membandingkan dengan orang-orang di negaranya. Aku hanya diam. Karena ini benar. Kebenaran yang seperti ini yang selalu menyakitkan. Hehe...

            Kami pun mempelajarinya. Dimulai dari sejarah hingga diskusi kecil. Seperti mereview buku. Dan aku mendapat sebua buku menarik. Begitu menarik karena bersampul orange ―Just you know... my favorit colour is still blue― dengan anak kecil dan seorang kakek dengan latar belakang bianglala besar. Ahh,, judulnya adalah “Theo haut ab”. Dan setelahnya aku akan tahu bahwa judulnya berbanding terbalik dengan keceriaan sampul orangenya.

            Sampai saat ini aku belum selesai tuntas membaca. Kami membagi beberapa orang, dan yang kubaca adalah bagianku. Bagian nyaris terakhir dari bukunya. Karena tak mengerti aku menelusur zusammenfassungnya dan menemukan beberapa. Lebih terkejut lagi ―setelah tahu arti judulnya― kemudian saat mengetahui isinya.

            Ini adalah buku yang dibaca anak usia 10 sampai 12 tahun di Jerman. Buku yang bercerita bagaimana seorang anak bernama Theo. Anak broken home disebabkan kedua orangtuanya sering bertengkar. Anak yang dikucilkan di sekolahnya. Dan ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Pergi dari beban yang seharusnya tak ditanggung anak seumurannya.

            Bayangkan, dengan tema seperti ini anak-anak Jerman dituntut untuk melek pada lingkungan kotor disekitarnya. Tema yang sangat tabu. Tema perceraian, tema perpisahan selamanya, bahkan tema tentang hubungan sesama jenis. Seperti yang dituliskan dalam buku “Papas Freund” (Pacar laki-laki Papa).

            Pertanyaan terbesarku “Apa penyebab tema-tema tabu ini disampaikan pada anak-anak?” terjawab sudah setelahnya. Ini adalah sebagai bentuk transparansi, anak-anak pun butuh tahu apa yang terjadi sebenarnya. Apa yang terjadi di lingkungan mereka. Transparansi ini dipicu munculnya internet. Setiap orang dapat mengakses apapun termasuk anak-anak. Ini akan membuat mereka mengerti dan dewasa ―pemikiran dan penyikapannya― lebih cepat.

            Bagaikan bumi dan langit ya dengan Indonesia. Disini anak kecil tak boleh terluka. Ia seperti memiliki gelembung kehidupan indah yang diciptakan orangtuanya. Yang disembunyikan rapat-rapat dan baru difloorkan saat usianya sudah 17 tahun. Sinetron sekali.

            Yaah, kalau tanya aku lebih cenderung kemana. Dengan tegas kukatakan aku cenderung ke Islam. Kok nggak nyambung? Nyambung tau... Bagaimanapun aku menolak mentah-mentah konsep transparansi kepada anak yang digaungkan Jerman dan gelembung semu yang ditawarkan Indonesia. Karena saat aturan Islam diterapkan tidak akan ada lingkungan kotor yang disebutkan di atas. Perceraian, perpisahan, dan hubungan tidak wajar. Anak-anak akan terhindar dari virus-virus liberal. Ingat, Islam mengajarkan keluarga adalah madrasah pertama bagi anak dan orangtua adalah guru pertamanya. Dan anak-anak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Anak-anak tidak akan diragukan lagi aqidahnya. 

             Begitulah Islam yang mulia. Ia tidak hanya memuliakan para orang tua saja, bahkan anak-anakpun dimuliakan. Bukankah islam telah mencetak generasi emas? Siapa yang kini tidak mengenal Imam Syafi’i. Angkat tangan kanannya dan katakan : Saya! Hehe :)

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.