0
[Catatan Harian] Sekat dan Batas
Batas
bukan berarti tegas berhenti...
Sekat
mengajari kita untuk tak terlampau batas...
Batas
mengajari kita untuk tetap berpijak di Bumi-Nya...
Lewat
sekat dan batas, kita belajar untuk bersabar...
Pasti ada beberapa hal yang menarik
setiap akhir dari mata kuliah Dasar-dasar Filsafat (DDF) yang kuambil saat
semester pendek lalu. Menarik, tapi selalu membuat pusing kepalaku kambuh. Bagaimana
tidak, karena filsafat mengharuskan aku untuk berpikir mendetail.
Tapi dibalik itu, aku bersyukur,
ketika mata kuliah ini kuambil, telah kutemukan kebenaran sejati : ISLAM. Islam
sebagai sebuah prinsip, akan menjadi pegangan dalam melangkah dan memutuskan
pilihan. Prinsip ini pun kupegang (lebih) erat saat berbicara mengenai
filsafat. Filsafat, sebagai seni untuk bertanya, hingga didapatkan jawaban yang
tersusun sistematis. Lingkupnya pun luas, tentang manusia, tentang kehidupan
bahkan eksistensi Tuhan.
Pertanyaan dalam filsafat dapat
dikatakan wajar, karena pertanyaan inilah yang sering terlintas dalam pikiran
manusia. Jika saja kita tidak hati-hati, maka terjerumuslah kita dalam cara
berpikir yang salah.
Ya, tidak sedikit seorang filsuf yang
akhirnya tidak mengakui eksistensi Tuhan, atau ia lebih memilih mempercayai
kekuatan yang melebihi manusia tapi tak mengejawantahkan kepercayaannya dalam
agama tertentu.
Dan inilah kisahku bersama DDF hari
ini...
Seperti biasa, kelas diawali dengan
sebuah presentasi menarik. Kali ini berjudul "Aliran-Aliran dalam
Filsafat". Presentasi berakhir dan tiba giliran untuk bertukar pikiran. Sebuah
pertanyaan mengenai kebenaran pun terlontar, diskusi pun menjadi berwarna. Sang
dosen menjawab, intinya, bahwa, memang benar kebenaran relatif.
dicontohkan bahwa Pancasila memang menjadi sebuah falsafah yang benar untuk
bangsa Indonesia yang plural dan heterogen. Tapi bisa menjadi sebuah hal yang
salah ketika pancasila dihadapkan kepada masyarakat Jepang yang cenderung
homogen.
Maka kebenaran menjadi relatif
tergantung budaya, lingkungan dan fakta yang ada saat itu. Itu yang kutangkap
dari jawaban Sang Dosen. Rasa penasaran pun menggelitik dalam otak. Aku
tertarik untuk bertanya. "Lalu Pak, apakah kebenaran dari Tuhan pun
relatif?"
Sang dosen tersenyum. Agak panjang
penjelasan yang beliau paparkan. Tapi masih kuingat dengan jelas perkataan
beliau, bahwa, "Ya, kebenaran dari Tuhan pun bersifat relatif. Tergantung
dari cara pandang masing-masing penganutnya. Itulah yang disebut dogma. Nabi
Adam misalnya yang diciptakan dari tanah. Itu sangat tidak realistis dengan
pengetahuan yang berkembang saat ini."
Tidak puas, ketika ada mahasiswi yang
bertanya tentang temannya yang tidak melaksanakan sholat. Beliau memaparkan
bahwa syah-syah saja dalam filsafat. Ketika seseorang tidak melakukan sesuatu
yang tidak dia yakini. Berfilsafat adalah kebebasan untuk berfikir tanpa sekat,
tanpa batas.
Aku, dalam hati, tentu tidak setuju
dengan pernyataan beliau. Sayangnya kelas hari itu cepat berakhir. Aku tak
diberi kesempatan lagi untuk mematahkan teori si Dosen, tak kucoba juga untuk
menghampiri beliau di luar kelas.
Setidaknya ada satu lagi yang
kupegang dari diskusi menarik ini. semakin percayanya aku pada Islam sebagai
falsafah hidup, bukan yang lain. Filsafat memang memusingkan, tapi ia seperti
dua mata sisi uang. Filsafat bisa menjadi sarana untuk mendapatkan kebenaran
juga bisa dengan mudahnya menjerumuskan orang dalam kesalahan berpikir bagi
orang yang tidak memiliki prinsip kuat.
Yah, amannya sebelum seorang muslim
mempelajari tentang filsafat, ia telah memegang prinsip. Yang dengan prinsip
ini akan membatasi pikiranmu untuk melayang tanpa batas. Yang dengannya menyekat
pemikiran-pemikiran yang tak pantas untuk diemban. Telah kutemukan prinsip itu,
dan dialah ISLAM.
Post a Comment