0
[Catatan Harian] Aku dan Sebuah Pilihan
masih jelas
dalam ingatan, saat kelulusan SMA,
berkata aku
pada diri ini,
"Aku
ingin menjadi wanita biasa bukan anggota rohis.
Apalagi
seorang aktifis.
Pake celana
bukan rok, dan menikmati masa remaja,
misalnya
mencoba untuk "pacaran" saja."
jika ingatan akan niat ini muncul ke
permukaan, hatiku terasa teriris. Bagaimana tidak? itu artinya ―tanpa akal
sehat—aku membiarkan diriku jatuh pada kemaksiatan. Ditambah kenyataan bahwa
pada saat itu hati ini tidak sepenuhnya terisi cinta pada Allah SWT, ada
riak-riak kecil yang menodai cinta suci teruntuk Dzat Maha Suci. Hingga kini
rasa menyesal masih menyesapi aliran darahku. Niat yang begitu bodoh.
Beruntung, Allah SWT masih sayang pada hamba yang nista ini. dan diri ini,
tidak menjadi semakin nista.
Keberuntungan ini dimulai saat tak sengaja bertemu dengan orang-orang yang baik. Baik dalam arti, sesuai tuntutan hukum syara. Mereka berbicara benar, menggunakan dalil-dalil yang kuat. Walau tidak sedikit orang bilang mereka radikal. Tapi hati ini telah tersentuh rupanya oleh kesempurnaan islam. Hingga aku tak peduli, toh mereka masih sholat dalam 5 waktu dan 17 rakaat. Sholatnya pun tak lari-lari ―kupinjam ungkapan seorang teman―. Hingga saat ini pun aku masih tidak peduli, bahkan semakin bertambah keyakinanku akan islam.
Keberuntungan ini dimulai saat tak sengaja bertemu dengan orang-orang yang baik. Baik dalam arti, sesuai tuntutan hukum syara. Mereka berbicara benar, menggunakan dalil-dalil yang kuat. Walau tidak sedikit orang bilang mereka radikal. Tapi hati ini telah tersentuh rupanya oleh kesempurnaan islam. Hingga aku tak peduli, toh mereka masih sholat dalam 5 waktu dan 17 rakaat. Sholatnya pun tak lari-lari ―kupinjam ungkapan seorang teman―. Hingga saat ini pun aku masih tidak peduli, bahkan semakin bertambah keyakinanku akan islam.
Aku dibuat mengerti akan sebuah jalan menuju
keimanan ―akan kujelaskan di tulisan yang lain―. Pun aku tahu bahwa islam bukan
sekedar seputar rukun iman ataupun rukun islam. Tapi Islam lebih kompliziert, lebih kompleks. Islam yang
menjadi prinsip hidupku meraih kebahagiaan hakiki. Ia mampu menyelamatkan.
Bukan islam dengan stigma ―kafir barat― teroris, menyengsarakan dan terkesan
kejam.
Islam yang umatnya satu, tak akan terpecah belah. Terlebih karena masalah sepele. Seperti yang terjadi kini, terkotak oleh sekat tak terlihat bernama batas. Hanya karena kalah pertandingan menjadi penyebab kandas sebuah hubungan baik. Menjadi pemutus ikatan aqidah islam.
Walau islam yang kini kurasakan dan kupilih masih di atas awang. Hingga orang bilang kami di atas langit. Suara sumbang itu, pasti karena masih tak mengindera apa yang aku indera. Proses berpikirnya masih belum sempurna, entah apa yang tertinggal.
Aku masih merasa ini benar. Perspektif benar yang kupakai pun bukan standart kerelativan manusia. Standart yang kupakai adalah hukum syara, hukum Allah SWT punya. Kebenarannya terukir jelas dan pasti, seperti keberadaan awan di langit.
Terakhir. Syukur selalu terpanjat ketika memori ini kembali kepermukaan. Di luar sana pasti ada yang mempunyai niatan sepertiku dulu, tapi Allah SWT mengangkatku dari lembah kegelapan menuju ketinggian cahaya islam. Hingga aku tahu. Dan aku mengerti akan Kuasa-Mu. Dan ini adalah sebuah PILIHAN. The right one!
Post a Comment