0
[Islamologi] Kepingan Terakhir Puzzle Keimanan : Rasulullah, Sang Pembawa Islam
Dengan kebeningan airnya yang kebiruan.
Di sana tersimpan pesona alami nan abadi.
Tiada mata yang bosan memandang.
Tiada hati yang jemu menikmati.
Tiada berhenti orang menyelami.
Karena sosok beliau, adalah pesona sepanjang masa.
(Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurahman
Al-mubarakfuri)
Mercusuar dan benda-benda lainnya tak akan pernah mampu menjadi sebuah
pengandaian yang tepat untuk beliau, Sang kekasih Allah. Seorang yang akhirnya
membawa sebuah agama yang telah Allah SWT ridhoi.
“....Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.....”
(Al-Maidah : 3)
Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib. Allah SWT pun
telah menjaga namanya hingga beliau lahir. Tersebut hanya ada enam orang yang
bernama Muhammad pada saat itu. Bibit, bebet, dan bobot Rasulullah pun
terhormat. Bagaimana tidak? Kedua orangtua Rasulullah SAW merupakan keturunan
Adam yang paling mulia kebangsawanannya dan paling terhormat nasabnya.
Akhlak beliau yang mulia pun terpancar dari dirinya. Beliau bagai salju
abadi, tak mencair, ditengah-tengah pedihnya padang pasir. Beliau selalu
memberi kesejukan dalam setiap kata, tindakan, pun saat beliau sedang diam. Ketinggian
akhlak beliau termaktub dari hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a :
“Akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Sebuah judgment terkait akhlak Rosulullah, ketika kini banyak umat yang
dengan ketundukan hatinya berkomitmen dalam dakwah atas dasar akhlak. Maka
sebuah pertanyaan besar. Baikkah berdakwah atas dasar akhlak? Mungkin
pembahasan ini akan saya urai nanti.
Dan begitulah Rasulullah SAW, dengan
dibekali segala kemuliaan, beliau memulai perjuangan menegakkan agama Allah SWT
ketika berusia 40 tahun. Perjuangan yang membutuhkan pengorbanan. Tidak hanya
harta, tenaga, tapi jiwa. Dan mulai detik ini tak ada waktu istirahat lagi
untuk beliau.
Hidupnya beliau dedikasikan untuk
dakwah. Dakwah sebagai poros hidup. Agar agama ini tak hanya sampai pada
dirinya, tapi dapat berkembang hingga menyejahterakan. Begitulah islam, lewat
lisan, perbuatan dan diamnya Rosulullah, islam yang datang dalam keadaan
terasing kini berkembang hingga seluruh dunia.
Perjuangan beliau tak kenal lelah.
Hanya ada keikhlasan yang menyertai setiap perjuangannya. Hanya ada semangat yang
menghiasi peluh-peluh pengorbanan. Ketinggian cinta akan Islam termaktub dalam
sebuah hadits :
“Demi Allah, andai
saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku,
dan bulan di tangan
kiriku, (lalu mereka minta) agar
aku meninggalkan
urusan (agama) ini, maka demi Allah,
sampai urusan (agama)
itu dimenangkan oleh Allah,
atau aku binasa di
jalannya, aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (HR. Ibn Hisyam)
Cintanya pun suci untuk umatnya. Beliau
seperti tak pernah ada waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Ingatkah?
menjelang masa akhir Rasulullah. Kecemasannya bukan termaktub akan hidupnya
kelak di akhirat. Juga bukan cemas memikirkan warisan untuk keluarganya. Tapi
beliau, dengan cemasnya memikirkan nasib umatnya, nasib agama Allah sepeninggal
beliau.
Kini, bertahun-tahun setelah
Rasulullah wafat, ketika kita berkaca pada kondisi umat Islam. Kecewakah beliau?
Masing-masing diri pasti punya jawaban.
Post a Comment