2
[Percikan] Kebaikan yang Kontradiktif
Kebaikan
yang hakiki dilandaskan atas dua perkara.
Satu : niat
yang benar.
Dua : cara
yang benar pula.
Dan
kebaikanmu akan 100% sempurna.
Disadari atau tidak, anak selalu mengcopy-paste perilaku kedua orang tuanya.
Itulah sebabnya menjadi orang tua bukanlah perkara yang mudah ―tapi bukan
alasan syar’i untuk tak memiliki buah hati―. Ia harus menjadikan dirinya
sendiri tauladan bagi sang buah hati. Jika salah memberi contoh, maka
pertanggung jawaban pada Allah SWT sangatlah besar. Karena anak merupakan
titipan Allah SWT.
Seringkali dijumpa dalam masyarakat Indonesia
kasus kebaikan yang kontradiktif. Kusebut dengan demikian. Kebaikan yang
kontradiktif ini kucontohkan sebagaimana orangtua dan buah hatinya. Sebuah
contoh, tatkala adzan sholat telah lama berkumandang orangtua menyegerakan sang
anak untuk cepat menegakkan sholat. Tapi sang orangtua pun tak menyegerakan
dirinya untuk sholat. Inilah yang akhirnya kusebut dengan kebaikan yang
kontradiktif.
Ini bisa menjadi sangat berbahaya ketika anak
beranjak dewasa. Ketika sang anak mulai mengerti. Ketika kebaikan yang selama
ini dilakukan menjadi buih. Sang anak akan sibuk mempermasalahkan orangtuanya
dan bisa jadi lupa akan hakikat kebaikan tersebut. Mungkin sampai tak ada
keikhlasan dalam hatinya untuk melakukannya. Anak akan sibuk berpikian “Kenapa
saya harus begini. Kenapa saya harus begitu. Sedangkan mereka saja tak pernah
menyontohkan. Mereka saja terlambat dalam menyontohkan.”
Contoh di atas mirip dengan seorang pengemban
dakwah. Layaknya orang tua, pengemban dakwah adalah contoh ditengah-tengah
umat.
“Dan
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat
yang memberi
penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu
sebelum kamu
dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS An-nuur
: 34)
Umat muslim sangat mengetahui bahwa Rasulullah
telah lama menjadi tauladan. Menjadi contoh atas apa yang seorang muslim harus
lakukan dan tak harus dilakukan. Ini semua termaktub dalam perkataan,
perbuatan, dan diamnya beliau. Maka sampai sekarang kita masih bisa mengikuti
jalan lurus yang beliau tunjukkan.
Tapi manusia tetap manusia. Ia bisa saja lupa,
hingga peta menuju syurga tak kunjung dibuka. Sombong dengan insting dan feelingnya sendiri. Hingga tak sadar
telah tersesat. Maka sekarang, setelah Islam telah tersebar keseluruh penjuru
dunia, tak lantas perjuangan dakwah berakhir. Goal setting Islam tidak serendah itu. Sejatinya pengemban dakwah
teramat dibutuhkan. Sepanjang masa, sebagai tour
guide bagi muslim yang tersesat dalam lembah kemaksiatan. Seperti cahaya,
ia memberikan penerangan. Sang pencerah.
Sayangnya sinar Sang Pencerah kadang tak
kunjung menyala terang. Gelap dan pekat masih mendominasi. Muslim yang tersesat
pun sampai-sampai tak menyadari kebaikannya. Inilah yang terjadi ketika para
pengemban banyak melakukan kebaikan yang kontradiktif. Memberi nasehat, tapi
tak memberi contoh konkret. terlebih jikalau mengemban dakwah dalam dunia
kampus. Mahasiswa yang katanya kaum intelek. Yang segalanya harus diukur dengan
mata. “Konkretnya mana?” jika tak ada sama sekali action maka tanda “X” besar mengacung di depan mata.
Ini menjadi sebuah kecaman untuk kita. Para
pengemban dakwah. Yang sinarannya masih redup. Tak terindra oleh mata yang
terbiasa gelap. Berbicaraaaaa saja masalah aqidah tiada henti. Yang ini haram,
yang ini mubah, yang ini wajib. Yang ini harus dikerjakan, yang ini tak boleh
dikerjakan. Tapi tak pernah ada aksi.
Yang paling krusial, misalkan saja perkara
riba. Sudah jelas riba adalah perkara yang diharamkan. Tapi tak sedikit
ulama-ulama yang meminta uang insentif hasil ceramah lewat bank-bank
konvensional. Lalu bagaimana masyarakat bisa “jijik” dengan aktivitas riba?
Jika ajengannya saja tak merasa
“jijik”. Allahuakbar!!
Kebaikan yang kontradiktif ini memang hal yang
dianggap kecil. Seringkali remeh. Tapi efeknya sangat berbahaya, layaknya bom
waktu. Ketidakpercayaan ummat kepada para pengemban dakwah semakin lama semakin
padam. Padahal hal pertama untuk memulai perubahan dalam masyarakat adalah
dengan memegang kepercayaan ummat. Jika ummat sudah percaya. 100% percaya. Maka
perubahan adalah keniscayaan.
Maka dari itu, menjadi seorang pengemban
dakwah tidaklah harus sempurna segalanya tentang Islam. Jika kesempurnaan yang
menjadi syarat utama, maka tak akan pernah ada pengemban dakwah di dunia ini.
karena ilmu Islam sangatlah luas. Ya, yang paling utama adalah bagaimana ia
mampu menjadi tauladan. Saling memberi nasehat untuk ummat sekaligus bergerak
seiring sejalan dengan ummat. Apapun yang keluar dari mulut pengemban dakwah,
maka ia pun menjalankannya. Dan akhirnya masyarakat yang khos akan tercipta. Masyarakat yang mampu menerangi ummat lainnya
dengan cahaya Islam dan cahaya itu takkan pernah padam.