[Apa Kabar Indonesia] Irman Gusman
Quelle : www.m.cuplik.com |
Hal ini beliau gadang-gadangkan akibat ketidakmerataan pembangunan yang terjadi pada masa Orde Baru. Karenanya, beliau harus rela merantau ke Jakarta, yang pada saat itu merupakan satu-satunya pusat perkembangan : baik itu secara politik, ekonomi, dan budaya. Ya, beliau ibarat saksi sejarah Indonesia tanpa sistem desentralisasi.
Jika kita meneliti dengan seksama, memang setiap apa yang ada di dunia dan merupakan hasil buatan dan pemikiran manusia, selalu memiliki dua mata sisi. Baik dan buruk. Tergantung pada orang dan sistem yang diterapkan. Desentralisasi disatu sisi memang memiliki energi positif akan kemajuan masing-masing daerah. Tapi disisi lain, desentralisasi pun menyebabkan maraknya korupsi pada pejabat-pejabat daerah, kesenjangan antar satu daerah dan daerah lain, dan peluang pemerintah pusat untuk angkat tangan dalam permasalahan yang ada di daerah. Dan mungkin saja terjadi pengkambinghitaman akan siapa penyebab dari suatu masalah.
Contoh terkecil misalnya. Saya tinggal di daerah Kabupaten Serang. Di daerah kami terdapat satu terminal yang boleh dikatakan tidak layak. Jalannya rusak dan tak ada pemaksimalan penggunaan terminal ini. Sampai sekarang kondisi terminal yang sedemikian tak kunjung dibetulkan hanya karena ‘perselisihan’ antara pemerintah kota dan kabupaten akan siapa yang seharusnya memperbaiki terminal kabupaten yang terletak di kota Serang ini. Begitulah sedikit gambaran akan sistem desentralisasi yang kebetulan saya rasakan sendiri.
Mungkin lebih bijaksana manakala adanya harmonisasi pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat tak hanya mengurusi permasalahan ibukota tapi juga adil mengurusi permasalahan didaerah lainnya. Jika di Jakarta tinggal pengajar terbaik bangsa, tenaga medis terbaik bangsa, serta peluang karir terbaik bangsa, begitu pun dengan di daerah lainnya. Harus ada. Jika selayak ini, maka tak akan ada lagi kecemburuan sosial. Tentu program transmigrasi pemerintah akan berhasil secara nyata. Jika dan hanya jika.
Tapi, lagi-lagi saya yakin. Demokrasi tak akan pernah mencapai harmonisasi. Mengapa? Karena pemerintahan yang dilahirkan dari sistem mahal, tak akan berhasil dalam pengurusan urusan umat. Siapapun orangnya dan dari background apapun ia. Layaknya seseorang yang selalu teringat akan cinta pertamanya. Para elit penguasa pun akan terus terbayang akan segepok uang yang mereka keluarkan untuk meraih kursi pemerintahan.
Seperti yang dikatakan Irman Gusman, ini seperti anak yang sedang berlatih sepeda. Perlu dibimbing dan diluruskan. Dan yang paling penting ia belajar dari kesalahan. Kita semua tahu, bahwa sistem yang ada saat ini tak pernah melahirkan pemerataan pembangunan. Tak juga melahirkan pemimpin amanah yang mampu mengurusi rakyatnya. Entah itu sentralisasi atau desentralisasi selalu melahirkan masalah pelik. Ya! sudah saatnya Indonesia belajar dari kesalahan.