0

[Islamologi] Kebolehan Masuk Parlemen Berdasarkan Nabi Yusuf?

”Siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah: orang-orang kafir (Al-Maidah [5]: 44) … orang-orang yang zalim (Al-Maidah [5]: 45) … orang-orang fasik” (Al-Maidah [5]: 47)

tribunnews.com
Ulama salathin (ulama pemerintah) ada yang menyatakan tentang bolehnya terlibat dalam sistem kufur (demokrasi-red) dengan dalil, bahwa Nabi Yusuf as pun pernah menjadi raja di Mesir. Alasan ini dijadikan dalil bagi kaum muslimin berbondong-bondong untuk melangkah dalam parlemen kekinian. Hanya saja, jika ditelusuri lebih dalam, pendapat ini tidaklah miliki pondasi yang kokoh. Tak lebih dari pembenaran demi melanggengkan kekuasaan.


Terdapat dalil yang lebih jelas terkait kekuasaan, bahwa sebuah kewajiban memerintah dan memutuskan perkara berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah. Allah telah firmankan:
“Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu” (Al-Maidah [5]: 48)
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepada kamu (Al-Maidah [5]: 49)

Nash-nash yang maknanya sama dengan ini terdapat banyak di Al-Qur’an. Allah pun telah sandingkan perintah demi menerapkan hukum Allah dengan keadaan saat perintah ini tidak dilaksanakan. Allah katakan melalui firmannya dalam surat Al-Maidah: 44, 45, 47, bahwa ketika seorang muslim, berdasarkan hawa nafsu dan hukum positif buatan manusia, dalam memerintah dan memutuskankan suatu perkara, maka ia termasuk kedalam jenis kekufuran (jika yang memerintah dan memutuskan dengannya itu yakin), zalim atau fasik (jika tidak ia yakin).

Lantas bagaimana dengan tindakan Nabi Yusuf yang melangkah ke dalam parlemen? Bahwa Nabi Yusuf, saat itu, memutuskan perkara dengan hukum raja Mesir, bukan dengan hukum Allah. Sekali lagi, pendapat ini tidak relevan. Pasalnya, kita diperintahkan untuk mencontoh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan bukan mencontoh nabi lainnya. Sebabnya jelas, Islam telah menghapus syariah kitab-kitab terdahulu.

Dulu, ketika Rasulullah saw, melihat ada lembaran Taurat di tangan Umar bin Khathab ra, beliau marah dan berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai Umar?” Dalam riwayat lain beliau mengungkapkan, “Seandainya Musa dibangkitkan kembali, tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti ajaranku.”

Hadits di atas semakin menjelaskan bahwa syariah orang sebelum kita bukanlah syariah kita. Sebagaimana syariat Nabi Yusuf yang melangkah ke dalam parlemen, bukanlah syariah umat Islam karena Islam telah menghapusnya. Artinya, bagi kita, sebuah kewajiban adalah dengan menghukumi suatu perkara dengan hukum Allah, bukan dengan yang lainnya.

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.