0
[Islamologi] Kebolehan Masuk Parlemen Berdasarkan Nabi Yusuf?
Posted by Unknown
on
18:08
in
aturan islam,
hukum pembuktian,
islamologi,
nabi yusuf,
pemerintah,
pemimpin,
syariah dan khilafah
”Siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah:
orang-orang kafir (Al-Maidah [5]: 44) … orang-orang yang zalim (Al-Maidah [5]: 45) … orang-orang
fasik” (Al-Maidah [5]: 47)
![]() |
tribunnews.com |
Ulama salathin
(ulama pemerintah) ada yang menyatakan tentang bolehnya terlibat dalam
sistem kufur (demokrasi-red) dengan dalil, bahwa Nabi Yusuf as pun pernah
menjadi raja di Mesir. Alasan ini dijadikan dalil bagi kaum muslimin
berbondong-bondong untuk melangkah dalam parlemen kekinian. Hanya saja, jika
ditelusuri lebih dalam, pendapat ini tidaklah miliki pondasi yang kokoh. Tak
lebih dari pembenaran demi melanggengkan kekuasaan.
Terdapat dalil yang
lebih jelas terkait kekuasaan, bahwa sebuah kewajiban memerintah dan memutuskan
perkara berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah. Allah telah firmankan:
“Putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepada kamu” (Al-Maidah [5]: 48)
“Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap
mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah
turunkan kepada kamu (Al-Maidah [5]: 49)
Nash-nash yang maknanya sama
dengan ini terdapat banyak di Al-Qur’an.
Allah pun telah sandingkan perintah demi menerapkan hukum Allah dengan keadaan
saat perintah ini tidak dilaksanakan. Allah katakan melalui firmannya dalam
surat Al-Maidah: 44, 45, 47, bahwa
ketika seorang muslim, berdasarkan hawa nafsu dan hukum positif buatan manusia,
dalam memerintah dan memutuskankan suatu perkara, maka ia termasuk kedalam
jenis kekufuran (jika yang memerintah dan memutuskan dengannya itu yakin),
zalim atau fasik (jika tidak ia yakin).
Lantas bagaimana
dengan tindakan Nabi Yusuf yang melangkah ke dalam parlemen? Bahwa Nabi Yusuf,
saat itu, memutuskan perkara dengan hukum raja Mesir, bukan dengan hukum Allah.
Sekali lagi, pendapat ini tidak relevan. Pasalnya, kita diperintahkan untuk
mencontoh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan bukan mencontoh nabi
lainnya. Sebabnya jelas, Islam telah menghapus syariah kitab-kitab terdahulu.
Dulu, ketika Rasulullah
saw, melihat ada lembaran Taurat di tangan Umar bin Khathab ra, beliau marah
dan berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai Umar?” Dalam riwayat lain
beliau mengungkapkan, “Seandainya Musa dibangkitkan kembali, tidak ada pilihan
lain baginya kecuali mengikuti ajaranku.”
Hadits di atas semakin
menjelaskan bahwa syariah orang sebelum kita bukanlah syariah kita. Sebagaimana
syariat Nabi Yusuf yang melangkah ke dalam parlemen, bukanlah syariah umat
Islam karena Islam telah menghapusnya. Artinya, bagi kita, sebuah kewajiban
adalah dengan menghukumi suatu perkara dengan hukum Allah, bukan dengan yang
lainnya.
Post a Comment