0
[Apa Kabar Indonesia] Mengkaji Ulang Demokrasi demi Indonesia Hebat
Posted by Unknown
on
16:00
in
apa kabar indonesia,
aturan islam,
demokrasi,
indonesia hebat,
khilafah islamiyah,
sistem kufur
SONG OF THE DAY
AlarmMe - Rapsodi Perjuangan [ download ]
![]() |
Gambar Google |
Hiruk pikuk
kampanye menjadi konsumsi masyarakat Indonesia khususnya seminggu terakhir.
Seluruh aspek ramai membicarakan pemilu yang akan berlangsung kurang lebih dua
minggu lagi. Kampanye sejatinya adalah salah satu bentuk implementasi
pelanggengan demokrasi. Salah satu cara untuk memperoleh dukungan demi
kemenangan pemilu. Pergantian rezim yang berlangsung setiap lima tahunan.
Pada dasarnya
masyarakat Indonesia memahami bahwa demokrasi sama dengan Islam. Masyarakat pun
kebanyakan menghukumi mubah atas sistem demokrasi. Hanya saja kaum muslimin
sekiranya mengkaji ulang fenomena ini melalui sudut pandang Islam dengan
menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Sejarah Eropa
bercerita tentang asal-usul demokrasi yang pada dasarnya adalah suatu sistem
pemerintahan buatan manusia dalam rangka „membebaskan manusia“ dari kezaliman
dan penindasan para penguasa atas nama agama.
Dalam demokrasi
terdapat dua gagasan besar yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat
merupakan sumber kekuasaan. Kebanyakan kita mengenal dengan istilah „dari,
oleh, dan untuk rakyat“. Kedua gagasan tersebut tercetus oleh para filosof dan
pemikir di Eropa untuk menghapuskan konsepsi raja merupakan titisan Tuhan dan
perbudakan atas nama rakyat.
Walhasil, dalam
sistem demokrasi, rakyat bertindak sebagai pembuat hukum dalam kedudukannya
sebagai pemilik kedaulatan, sekaligus sebagai pelaksana hukum dalam
kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Dilihat dari dua
gagasan ini, demokrasi memang tampak indah-memesona dan sangat memihak pada
rakyat. Faktanya, demokrasi merupakan gagasan utopis yang mustahil untuk
dipraktekkan secara maknawi. Demokrasi belum pernah, bahkan tidak akan pernah,
bisa diwujudkan sampai kapan pun. Masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih
dari 250juta misalnya mustahil untuk dikumpulkan di sebuah tempat untuk
didengar pendapatnya.
Maka kemudian muncul
istilah-istilah „dewan perwakilan“ dan „kepala negara“ yang dipilih oleh suara
mayotitas rakyat dalam demokrasi. Klaim tersebut nyatanya keliru. Sebab, „dewan
perwakilan“ dan „kepala negara“ tidak langsung dipilih oleh rakyat melainkan
pencalonan yang diusung dari sebuah partai. Rakyat tidak leluasa memilih perwakilannya
dalam pemerintah. Misalnya saja PDIP mengusung Jokowi sebagai calon presiden
atas mandat dari Megawati atau Rhoma Irama yang digadang-gadang menjadi calon
presiden dari PKB. Pertanyaannya adalah, apakah ini merupakan aspirasi
atau pendapat dari mayoritas rakyat? Tentu tidak.
Maka kedaulatan
dalam demokrasi tidak akan pernah berada di tangan rakyat, karena sejatinya
para perwakilan rakyat di pemerintahlah yang riil menetapkan UU dan hukum,
bukan rakyat. Sedang perwakilan rakyat yang ramai-ramai membuat UU dan hukum
miliki kepentingan dan hawa nafsu masing-masing. Oleh karena itu mufakat bulat
sangatlah jarang, hingga voting menjadi landasan penentuan keputusan. Padahal,
voting demi sebuah keputusan belum tentu kebenarannya karena suara di dalam demokrasi
sama. Suara seorang ustadz sebanding dengan suara seorang preman.
Maka dampak
negatif paling besar dari kedaulatan di tangan manusia adalah pembolak-balikan
hukum Allah SWT. Mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram. Misalnya
saja penghalalan atas riba, penyebaran miras dan lokalisasi di berbagai titik
di Indonesia.
Lebih dari itu,
konsep kedaulatan rakyat ternyata bertentangan dengan Islam. Seseorang yang
menyerahkan hak membuat hukum, menentukan halal-haram kepada dirinya sendiri
atau manusia lain, sama artinya dengan menjadikan dirinya atau manusia lain
sebanding dengan kedaulatan yang sejatinya hanya milik Allah.
Inilah kesalahan
berpikir terbesar kaum muslimin saat ini. Menyamakan sesuatu sejajar dengan
Islam melalui sesuatu yang tampak. Demokrasi sama dengan Islam karena
musyawarah-mufakat dan voting misalnya. Padahal jika dilihat secara ide dasar
saja demokrasi tidak sama dengan Islam. Sama sekali berbeda.
Islam berasal dari
wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Konsepsi kedaulatan dalam Islam hanya
milik Allah SWT satu-satunya melalui hukum syara, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
Artinya hukum syara’lah yang mengelola dan mengendalikan kehendak individu
maupun umat.
Secara syar’i, tak
mungkin ada satu perbuatan manusia pun yang tidak ada dalil yang menjelaskan
hukumnya atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Oleh karena itu legislasi
hukum dalam Islam oleh Khalifah akan berlangsung cepat dan akurat tanpa
menyalahi aturan Allah SWT. Pun tanpa pengeluaran anggaran yang besar.
Legislasi yang
dilakukan Khalifah pun mampu dianalisis oleh siapa saja yang mampu berijtihad.
Sejarah telah membuktikan atas legislasi hukum oleh Khalifah Umar bin Khattab
yang membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham. Legislasi ini
kemudian ditentang oleh seorang wanita yang memahami mahar dalam surat An-Nisa:
20 sebagai jumlah yang banyak tanpa batas. Maka ketika itu Umar legowo untuk
menngakui kekhilafannya.
Inilah segelintir
fakta keunggulan dan kebaikan konsep kedaulatan dalam Islam. Konsep yang bukan
merupakan barang kuno yang tak butuh untuk dilirik kembali. Karena sejatinya
naluri dan kebutuhan dasar setiap manusia sebagai seorang hamba bagi Pencipta
tidak pernah berubah. Maka Allah SWT dan syari’ahnya satu-satunya yang mampu
menuntaskan problematika atas naluri dan kebutuhan manusia. Menjadikan hebat
tidak hanya Indonesia, tapi seluruh dunia. Dengan Islam kita bisa.
Post a Comment