0
[Islamologi] Hukum Barang KW Part II
SONG OF THE DAY
EdCoustic - Berubah [ download ]
Kenapa ada part II? Karena banyak yang merespon terkait
barang KW kepada Ust. Siddiq Al Jawi maka beliaupun menjawab kembali ―begitu
pula denganku yang mengutip dan menulis ulang―. Diantara pertanyaan yang masuk
adalah,
Pertanyaan pertama, apakah barang yang
dibuat oleh produsen lain tapi mendapat lisensi dari branded (merek) utamanya
bisa disebut barang KW juga?
Jawab:
Barang yang penanya sebut sebagai barang yang dibuat oleh
produsen lain tapi mendapat lisensi dari branded
utamanya, bukan termasuk barang KW, melainkan disebut barang OEM (Original Equipment Manufacturer). Barang
OEM merupakan produk yang miliki kualitas sama dengan barang original. Bedanya,
barang OEM tidak dibuat oleh perusahaan produsen barang original, dan produknya
tetap menggunakan merek barang original. Aku berpikir terkait contoh barang
OEM, misalnya, handphone merek Samsung yang dibuat di Thailand atau di Cina.
Kualitas tetap sama hanya tempat produksinya yang berbeda.
Berdasarkan fakta hukum (manath) ini, maka menjual belikan barang OEM hukumnya mubah dan
tidak mengapa, karena bukan termasuk barang KW. Hal ini didasarkan pada
perbedaan fakta, maka berbeda pula hukumnya. Kaidah ushuliyah menyebutkan: al hukmu ‘ala al syai‘ far’un ‘an
tashawwurihi “hukum atas suatu fakta (manath) bergantung pada gambaran
terhadap fakta itu“
Pertanyaan kedua, bagaimana dengan barang
KW yang sudah terlanjur dibeli?
Jawab:
Barang KW yang sudah terlanjur dibeli tetap boleh
digunakan, dengan syarat pada saat membelinya kita memang tidak tahu hukumnya
haram. Inilah yang disebut al-jahlu bil
ahkam al syar’iyyah “ketidaktahuan hukum syariah” yang dapat menjadi udzur syar’i “unsur pemaaf” terhadap
pelanggaran hukum syara’ yang sudah dilakukan.
Misalnya, aku
mempunyai jam KW super dan sandal bermerek crocs
yang ternyata KW. Aku membelinya sebelum ada keharaman hukum barang KW. Jadi
sandal dan jamku masih tetap bisa dipakai. Alhamdulillah.
Namun dengan catatan,
bahwa ketidaktahuan hukum itu adalah ketidaktahuan yang sifatnya umum atau
merata untuk orang-orang di sekitarnya. Entah itu keluarga, teman-teman,
tetangga, kolega, dan relasi kita yang juga tidak tahu hukumnya. Nah, jika kondisi yang
demikian, maka berarti udzur syar’i
berlaku. Namun jika hanya kita saja yang tidak tahu, sementara orang-orang
disekitar kita mengetahuinya, maka udzur syar’i itu tidak berlaku dan tidak ada
pemaafan secara syariah.
Pertanyaan Ketiga, ada fulan yang
berjualan HP, aksesoris HP, pulsa dll. Berkaitan dengan ini,
(1) Aksesoris/Sparepart HP yang beredar di pasaran
mayoritas barang KW, dikarenakan barang ori (asli) susah didapat (hanya
tersedia di centernya) dan harganya mahal. Jadi pedagang dan pembeli lebih
memilih barang KW.
Jawab:
Sesungguhnya hukumnya
tetap haram atas penjual dan/atau pembeli menjualbelikan aksesoris atau sparepart KW yang dilakukan dengan
alasan barang originalnya sulit diperoleh atau harganya mahal. Alasan ini tidak
dapat diterima secara syariah dan tidak mempunyai nilai dalam pandangan
syariah. Karena alasan tersebut bukanlah dalil syar’I yang dapat mengecualikan
keharaman.
Dalam hal ini kaidah
ushul fiqih menetapkan: Al ’amal bi al
‘aam waajib hatta yaquma daliil al khushuush “Mengamalkan dalil umum adalah
wajib hingga terdapat dalil yang mengkhususkan/mengecualikan” (Muhammad Shidqi
Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, juz 7 hlm.460)
Maka dari itu,
walaupun pembeli rela dan sadar, hukum menjualbelikan aksesoris atau sparepart KW hukumnya tetap haram,
berdasarkan keumuman nash-nash yang mengharamkan jual beli KW.
(2) Pembeli umunya
membeli barang KW karena butuh dan sesuai dengan kesanggupan dana akan barang
tersebut. Contoh: jika dia memiliki HP harga murah atau HP keluaran lama
kemudian ada kerusakan di casing atau baterainya kemudian dia ingin HP tersebut
tetap dapat digunakan agar tidak mubadzir dengan perhitungan membeli barang ori
tentu tidak sebanding (bahkan mungkin lebih mahal sparepartnya) kemudian dia memilih barang KW dengan kesadaran
sendiri. Yang seperti ini bagaimana?
Jawab:
Tetap saja dihukumi
haram fenomena menjualbelikan sparepart
KW untuk keperluan servis dengan dalih mahalnya sparepart original. Dipandang secara syariat pun tak ada dalil yang
mengecualikan dan menghalalkannya.
Dibanding memilih sparepart KW ada baiknya untuk
menjualbelikan sparepart asli merek
lain yang harganya lebih terjangkau dan cocok (compatible) dengan sparepart original. Syara pun
membolehkan hal yang demikian.
Perlu diingat bahwa
perbuatan manusia terkait mengikat dengan hukum syara, aturan-aturan yang
berasal dari Islam. Termasuk aktivitas yang berkaitan dengan pencarian rezeki, dalam hal ini
pedagang misalnya. Halal dan haramnya tentu bergantung pada apa yang dijualbelikan.
Maka perhatian penjual terhadap barang dagangannya sangatlah penting. Tidak
hanya memandang pengambilan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kaidah hukum Islam
menetapkan: al-hasanu maa hassanahu as-syar’u wa al-qabiihu maa qabbahahu as-syar’u
(perbuatan yang baik/terpuji adalah perbuatan yang dinilai baik oleh Syariah
Islam, sedang perbuatan buruk/tercela adalah perbuatan yang dinilai buruk oleh
Syariah Islam). (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’I fi Al-Islam,
hlm.140)
(3)
Untuk HP keluaran lama (jadul) perusahaan resmi sudah tidak mengeluarkan sparepartnya lagi, tapi barang-barang KW
produk tersebut di pasaran masih ada. Bagaimana hukum menjualnya atau
membelinya?
Jawab:
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan atas kebolehan menjualbelikan barang KW,
yaitu:
Pertama, produsen sparepart asli tersebut sudah tutup atau
sudah bangkrut (pailit). Dalam kondisi ini jika ada produsen lain yang
memproduksi barang KW dari produsen asli tersebut, hukumnya boleh. Kebolehan
ini dikarenakan tidak terjadi pemalsuan merek yang merugikan produsen asli,
mengingat produsen asli termasuk mereknya yang asli sudah tidak ada lagi secara
hukum. Berbeda jika produsennya masih ada dan tidak bangkrut, hukumnya tetap
tidak boleh memproduksi atau menjualbelikan sparepart
KW. Produksi dan penjualbelian barang KW tetap merupaka pemalsuan merek yang
dapat menimbulkan kerugian finansial atau rusaknya reputasi produsen barang
ori. Dan ini termasuk menimbulkan bahaya bagi orang lain. Sabda Rasulullah:
“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri atau bahaya bagi orang
lain dalam Islam” (HR. Ibnu Majah
no.2340; Ahmad 1/133/ & 5/326)
Kedua, sparepart yang original sudah tidak terdapat lagi di pasaran. Jika sparepart yang original masih ada walaupun
sudah tidak lagi diproduksi, maka hukumnya tetap tidak boleh atas
menjualbelikannya.
Ketiga, penjual wajib
memberi tahu pembeli bahwa sparepartnya
adalah barang KW dan bukan barang ori. Jika penjual tidak memberitahu, hukumnya
tidak boleh. Karena hal itu termasuk perbuatan demi menyembunyikan aib/cacat
dalam berjual beli, yang telah diharamkan oleh syari’ah.
Sabda Rasulullah:
“Seseorang muslim adalah saudara muslim lainnya, dan tidaklah halal
seorang muslim menjual kepada saudaranya barang yang ada cacatnya, kecuali dia
menerangkan cacatnya kepada saudaranya.” (HR Ibnu Majah, no 2246)
Keempat, apakah yang dimaksud barang KW termasuk juga
fotokopi dari buku atau kitab hasil karangan seseorang? Apakah haram
memfotokopi buku atau kitab karya tulis seseorang?
Jawab:
Pertanyaan keempat adalah pertanyaan yang berhubungan
dengan karya intelektual seseorang seperti kitab atau buku. Syara telah
membolehkan seseorang untuk memanfaatkan kitab atau buku yang ia miliki secara
luas selama tidak melanggar syariah. Pemanfaatan tersebut bisa untuk diri
sendiri ataupun untuk orang lain, selama tidak memperdagangkan buku atau kita
tersebut.
Kebolehan ini karena karya intelektual pada hakikatnya
adalah ilmu yang merupakan hak umum milik masyarakat luas dan menyembunyikan
ilmu adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Sabda Rasulullah:
“Barangsiapa yang ditanya suatu ilmu lalu dia menyembunyikan ilmu itu,
maka Allah akan mengekangnya pada Hari Kiamat nanti dengan tali kekang dari api
neraka.“ (HR Abu Dawud no 3658,
Ibnu Majah no 266, Tirmidzi no 2787. Hadits shahih)
Namum meski karya
intelektual hakikatnya adalah ilmu, namun faktanya pada karya intelektual ada
unsur jasa yang bernilai harta. Unsur jasa tersebut berupa usaha/upaya dari
penulisnya pun dari penerbitnya, seperti usaha berpikir untuk mencurahkan ide
maupun upaya berupa modal yang dikeluarkan untuk menerbitkan dan mengedarkan
buku. Padahal usaha manusia seperti itu dalam pandangan Syariah miliki nilai
secara finansial seperti kebolehan oleh Rasulullah memberikan mahar berupa
manfaat/jasa mengajarkan Al-Qur’an.
Maka dari itu,
pemanfaatan karya intelektual oleh pemiliknya dibatasi dengan satu syarat,
yaitu tidak boleh memperdagangkan karya intelektual itu. Jika hanya sebatas
memfotokopi untuk teman atau kolega dan sebagainya, hukumnya boleh. Tapi memfotokopi
untuk dijual kembali dengan mendapatkan laba, hukumnya pun menjadi haram. Keharaman
ini bahwasanya atas dasar pemanfaatan harta orang lain untuk mencari keuntungan
tanpa izin dari pemilik aslinya. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta di antara
kamu dengan cara yang batil kecuali dengan jalan perdagangan atas dasar saling
rela di antara kamu.“ (QS An-Nisaa :
29)
Sumber : www.konsultasi.wordpress.com
dengan gubahan dan perubahan
Post a Comment