0
[Catatan Harian] Things that (I Think) Important...
Setiap orang
pasti mempunyai hal yang penting baginya.
Seiring
dengan waktu yang berjalan, sesuatu itu bisa saja berubah.
Entah,
mungkin karena kita pun ikut berubah.
Pemikiran
dan perasaan yang ada.
Menurutmu, apa yang paling penting di dunia
ini? Jika pertanyaan ini dijawab dengan sangat mudah, ada dua asumsi : pertama,
kamu memang sudah benar-benar yakin akan sesuatu yang penting tersebut. Kamu tipe
visioner. Yang kedua, kamu tidak memikirkan dengan baik-baik sesuatu tersebut. Bisa
jadi kamu bahkan belum tahu untuk apa kita hidup di dunia ini? who knows?
Aku berulang kali memikirkan ini. Acap kali
aku gagal, karena ada sesuatu yang lebih-lebih penting lagi. Dan sampai
sekarang pun masih terus kucari. Hingga nanti ―entalah kapan― akan kutemukan
sesuatu itu.
But now, thing that (i think) important is...
1.
Mencintai dan membenci secara sederhana
Agak
klasik memang. Tapi ini ―menurutku―penting. Aku baru benar-benar menyadari efek
dari kesederhanaan untuk membenci dan mencintai ini. Jika kau mencintai secara sederhana,
percayalah, tidak akan ada alasan untukmu merasa dikecewakan. Dan jika kau
membenci sederhana, selalu ada alasan untuk belajar mencintai orang yang tidak
kamu suka.
Mungkin,
ini agak teoritis. Aku pun bukan baru sekarang-sekarang ini tahu teori cinta
dan benci secara sederhana. And honestly,
memang baru sekarang ini aku bisa mengaplikasikannya dalam kehidupanku. “Owhhh
gini ya, cara untuk membenci dan mencinta secara sederhana”. Kemana aja ya aku
dari dulu? Hehehe... But it is learning
by doing. Right?
2.
Perasaan harus selalu dibimbing oleh akal
Perempuan,
yang juga berarti aku, adalah makhluk dengan 1 akal dan 9 nafsu. Pernah dengar?
Ternyata kata-kata ini diambil dari sebuah kisah Rabi'ah Al 'Adawiyah dan
Hasan Al-Basri.
Aku tidak membenarkan dan
menyalahkannya. Tapi memang harus diakui kebanyakan ―baca : tidak semua―wanita lebih
perasa dibanding laki-laki yang ―katanya― selalu bermain dengan logika. Aku
tidak akan mendebat lebih jauh dan menjadikannya sebuah masalah.
Yang harus dibold besar-besar adalah tatkala perasaan yang menggebu-gebu ―baik itu pria
ataupun wanita― tak didampingi dengan akal. Amal saja awalnya
didahului dengan ilmu. Tak pernah terdengar ceritanya, amal yang didahului oleh
perasaan.
So, intinya perasaan tidak dijadikan
standar kita untuk berbuat sesuatu. Standar seorang muslim, tetap halal dan
haram. Maka ketika perasaan masih menjadi sandaran, dan bukan Allah SWT, kita
belum bisa dikatakan muslim yang masuk islam secara kaffah.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti
langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.”
(Q.S. Al-Baqarah : 208)
3.
Ayah dan Ibu (pada akhirnya) selalu benar
Please,
jangan berspekulasi aku anak yang tidak mendengarkan apa kata orang tua,
sebelum selesai membaca poin ini.
This
is unique. Sepertinya ini cara orang tuaku mendidik anak-anaknya. Dan mungkin,
bisa aku coba nantinya. Ayah dan ibu selalu percaya dengan segala pilihan yang
aku buat. Karena memang pilihan yang kubuat ―InsyaAllah― tidak akan melenceng
dari kebenaran. Hanya, seringkali kurang tepat.
Dan setelah
aku tahu ―dengan sendirinya― bahwa pilihan ini kurang tepat, barulah Ayah dan
Ibu memberi nasehat. Dan saat itu, dengan tanpa filter aku akan menerima
nasehat tersebut, tanpa ada lagi bakat keras kepalaku yang muncul. Tapi dengan
begini aku menemukan sendiri seni untuk bertahan hidup. Dan jika ada saat-saat
yang kurang tepat, aku tidak akan sendiri, karena akan selalu ada orang yang
memback-upku.
Ini
adalah tiga hal yang pada akhirnya kurasa penting untuk saat ini. Apakah nanti
akan berubah aku pun tak bisa menjamin. Karena perubahan adalah sebuah
keniscayaan. Tak akan pernah ada seseorang yang tahan untuk tak bergerak. Posisi
roda yang berjalan hanya ada dua bukan? Jika tidak di atas maka ia akan di
bawah. Dan hal yang penting ini akan menentukan dimana letak rodamu.
Post a Comment