2
[Percikan] Jiwa yang Sakit
SONG OF THE DAY
Opick - Obat Hati [ download ]
![]() |
gambar google |
Manusia seringkali berlaku aneh. Bersikap tidak adil pada
dirinya.
Lihat saja. Jika raganya rapuh karena sakit. Cepat sekali
manusia berusaha untuk temukan obatnya. Minimal obat yang bisa didapat di
warung atau apotik. Jika tidak kita berlari meminta konsultasi pada dokter.
Jika sakitnya dirasa cukup berat dan butuh perawatan intensif di rumah sakit.
Berapapun biayanya toh akan kita jabani, demi kesehatan raga yang memang mahal
di zaman kekinian.
Terlepas dari kondisi pengobatan Indonesia yang berkiblat
pada aspek bisnis, memang sehat itu istimewa. Sehat itu mahal. Bayangkan bila
raga ini sakit. Makan-minum terasa tak enak. Apapun terasa pahit saat masuki
lidah. Walaupun ketika sakit makanan yang tersaji adalah makanan lezat lagi
mahal, tetap saja seperti tidak berarti. Tidak ada harganya. Karena semua
―lagi-lagi― terasa amat pahit. Nggak enak. Nggak selera.
Akhirnya, banyak manusia yang memilih untuk mencegah
raganya sakit ketimbang harus mengobati. Caranya pun beragam. Ada yang mengatur
pola dan jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang sanggup
berolahraga setiap harinya agar badan tetap bugar. Apapun caranya, tujuannya
tetap satu. Sehat raganya.
Tapi bagaimana dengan
jiwanya? Tentu sahabat pernah mendengat sebuah kalimat menyejukkan “Men sana in corpore sano“. Artinya, di
dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat atau bisa juga berarto di dalam
jiwa yang sehat terdapat badan yang kuat. Dalam konteks kekinian, sayangnya
kalimat menyejukkan di atas tak lagi berlaku. Jiwa yang merujuk pada hati dan
keimanan terkadang harus bersebrangan dengan raga atau jasmani yang merujuk
pada materi keduniawian. Jika ingin jiwa yang diketengahkan, maka ragawi mesti
dimarginkan. Begitu pun sebaliknya. Mutlak adanya.
Padahal hati pun mampu
sakit dan dibutuhkan perawatan untuk menyembuhkannya. Perlu obat. Perlu konsultasi
dengan dokter. Hati yang sakit ibarat hati yang telah disinari cahaya keimanan.
Namun, cahayanya kurang terang sehingga ada sisi hatinya yang masih gelap,
dipenuhi oleh kegelapan syahwat dan badai hawa nafsu. Karena itu, setan masih
leluasa keluar-masuk ke dalam jenis hati ini.
Sama halnya saat jasmani sakit, jiwa yang sakit pun mampu
membuat penderitanya merasa pahit. Nggak. Nggak selera. Shalat berjamaah di
masjid terasa ‘pahit’. Shalat malam terasa ‘nggak enak’. Saum sunnah terasa tak
‘berselera’. Baca Al-Qur’an terasa berat meski hanya satu atau dua halaman.
Hadir di majelis taklim pun tak membuat betah akibat gerah. Dakwah pun sering
tak semangat. Padahal jika saja diibaratkan layaknya makanan, aktivitas taqarrub Ilallah tersebut sungguh lezat.
Sungguh enak. Misalnya saja satu huruf Al-Qur’an yang dibaca, Allah limpahkan
sepuluh kebaikan. Sedang mengucap basmallah sebagai pembuka saja sudah lebih
dari sepuluh huruf. Betapa enaknya. Betapa lezatnya bukan?
Selain tak merasakan kelezatan beribadah kepada Allah, si
pemilik hati pun tak jarang terjerumus dalam maksiat dan dosa. Jika sampai pada
titik ini, maka hati-hati obat pun tak lagi beresistensi dengan virus-virus
pada hatinya sehingga berujung pada ‘kematian hati’.
Maka segeralah
bertaubat. Taubat adalah obat mujarab asal bukan tobat asal-asalan. Dekatkanlah kembali diri
ini pada Allah. Jangan sampai termakan lagi oleh kegelapan syahwat dan badai
hawa nafsu. Rekayasa diri ini untuk miliki keikhlasan saat melakukan aktivitas taqarrub Ilallah. Ingat selalu akan
kematian yang tak tahu kapan akan datang menjemput. Dan terakhir, jangan
biarkan sakit dalam hati ini terus-menerus bertambah parah.
sumber : Tabloid Al-Wa'ie No.125 Januari 2011 dengan perubahan