0
[Catatan Harian] How I Met Hizbut Tahrir? Part 2
Aku pulang kekostan dengan
kekecewaan yang masih terasa. Berdo’a demi yang terbaik untukku. Kemudian seorang
teteh dari kostanku mengajakku untuk mentoring. Jujur saja saat itu aku dilema.
Aku tahu background apa yang berada
dibaliknya. Tapi entah keyakinan dari mana aku akhirnya menerima tawaran
beliau. Mungkin salah satunya perkataan dari seorang guru. “Kehidupan kampus nanti akan senantiasa banyak gerakan-gerakan Islam. Jangan memandang salah
satunya benar dan yang lainnya salah dan menyimpang. Perbedaan adalah
sunatullah. Tempatkan hatimu untuk menentukan pilihan yang benar.”
Demikianlah
aku memulai mentoring pertama di kampus. Mentoring pertama yang jauh dari
bayanganku. Pertama kalinya, aku sudah dicekoki dengan sebuah ayat yang
Al-Qur’an yang harus aku baca. Al-Ahzab: 59. Surat yang
berisi tentang kewajiban untuk berjilbab. Katanya jilbab itu berbeda dengan
kerudung. Satu pemikiran lamaku diruntuhkan, dan diambil alih dengan pemikiran
yang benar. Aku yakin akan kebenarannya karena ditopang dengan bukti berupa
Al-Qur’an dan Sunnah serta beberapa pengertian menurut imam-imam besar.
Tapi tetap, walaupun
nurani dan akalku menurut hanya saja egoku yang menang. Aku tak mau memakai
pakaian seperti itu. Tua. Tidak modis. Dan anti-mainstream.
Saat itu hanya sedikit yang mengenakan pakaian tersebut dan isu terorisme
merebak berkembang. Aku takut. Ada saat dimana akhirnya aku mau dan mampu untuk
memakainya. Perjuangan yang lumayan. Untung saja perubahan luarku disambut
positif oleh ayah dan ibu. Aku tak seperti mereka yang sampai harus bertengkar
dengan orangtuanya demi teguh memakai jilbab. Aku pernah mendengar, ada salah
satu senior yang harus menerima perlakuan kasar ayahnya. Jilbab dan kerudungnya
dibakar. Ada juga yang harus bersusah payah bekerja karena tak lagi dibiayai
orangtuanya. Subhanallah.
Aku semakin tenggelam
dalam mengkaji Islam. Islam yang aku pelajari sangatlah menyeluruh. Tidak hanya
mengkaji islam sebagai ritual juga tak hanya mengkaji Islam dari keluhuran
akhlaknya. Mentoring yang kujalani berlangsung mulai dari pengokohan aqidah,
islam sebagai ideologi, keterikatan terhadap hukum syara, hingga dakwah secara
jama’ah. Aku juga mengkaji tentang aturan-aturan Allah yang sempurna mengatur
individu, masyarakat, bahkan negara. Pengaturan inilah yang saat ini terlupakan
pada diri-diri kaum muslimin. Ini yang kami dakwahkan, “melanjutkan kehidupan
Islam“.
Dalam perjalanan aku
mengkaji dalam jama’ah ini. Tidak lurus-lurus saja. Seorang teman pernah
menyatakan keberatannya saat aku mengkaji dalam jama’aah ini. Ia mengirim
sebuah pesan di facebook. Pesan panjang dari sebuah artikel yang intinya
mengatakan bahwa setiap yang memasuki jama’ah ini bagai sapi yang dicucuk
hidungnya mau dibawa kemanapun. Terdoktrin secara sempurna.
Jujur saja aku terluka
dengan pandangannya terhadap Hizbut Tahrir. Penilaiannya tidak objektif.
Belum-belum ia mengkaji Islam ideologis, ia sudah berani mengcopy artikel yang ia sendiri belum tahu
kebenarannya.
Aku memang bodoh dan pikiranku amatlah
sederhana. Hanya dengan dalil mutawatir sederhana, hatiku telah tunduk. Aku
telah terdoktrin. Doktrin yang membuatku menggunakan akal sehatku. Yang
menuntun hatiku untuk mencari kebenaran hakiki, bukan sebuah pembenaran. Dan
aku bersyukur akan kebodohanku saat itu. Hingga saat ini masih sangat-sangat
bersyukur.
Post a Comment