0
[Catatan Harian] Akronim Terpolitisasi
SONG OF THE DAY
Gigi - Pemimpin dari Surga [ download ]
![]() |
gambar google *Sumpah ngakak liat gambarnya |
Semester
lalu, bagi mahasiswi tingkat akhir sepertiku, Rabu adalah hari paling indah
sebab di hari ini dosen favoritku mengajar. Beliau tidak hanya mengajar namun juga
berbagi cerita melalui pengalamannya. Berhubung pengalaman setiap manusia dalam
melewati fase hidupnya berbeda-beda, maka aku sangat menikmati mendengarkan
pengalaman hidup dari sudut pandang orang lain.
Bercerita
di sela-sela mata kuliah agaknya menjadi kebiasaan. Dan kami akan setia mendengarkan.
Di kesempatan suatu Rabu, kisah tentang perpolitikanlah yang beliau bagi. Kisah
ini beliau dapati saat mengikuti seminar kebahasaan bertajuk akronim sebagai
alat politik di ITB. Asal tahu saja, pembahasan berbau politik memang selalu
menyita seluruh perhatianku.
Menarik.
Itu yang pertama kali terbersit dalam otakku. Aku memang sering mendapati
akronim yang dipolitisasi dalam kehidupan sehari-hari, namun tak pernah
berpikir sejauh demikian. Menurut kamus bahasaindonesia.org, akronim diartikan
sebagai berikut:
ak.ro.nim
[n Ling ] kependekan yg berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yg ditulis dan dilafalkan sbg kata yg wajar (msl mayjen mayor jenderal, rudal peluru kendali, dan sidak inspeksi mendadak)
[n Ling ] kependekan yg berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yg ditulis dan dilafalkan sbg kata yg wajar (msl mayjen mayor jenderal, rudal peluru kendali, dan sidak inspeksi mendadak)
Pengertian
di atas tentu membantu teman-teman untuk mengingat lebih jauh akronim apa saja
yang telah terpolitisasi. Aku pun kemudian teringat dengan sebuah acara LDK DKM
Unpad yang pernah kurancang juga memakai akronim. SDI Ampuh namanya. SDI yang
merupakan singkatan dari Studi Dasar Islam dan „AMPUH“ yang merupakan akronim
dari „Aktif Membawa Perubahan Untuk ummaH“. Dengan akronim ini aku berharap
agar nama acara kami mudah diingat dan sesuai dengan arti „ampuh“, yang dalam
hal ini ampuh untuk mengIslamkan pemikiran kapitalisme dalam otak
mahasiswa-mahasiswi muslim Unpad.
Tentu hal
serupa juga menjadi harapan para calon pemegang kekuasaan Indonesia. Itulah sebabnya,
para politisi ramai-ramai „menciptakan“ nama-nama baik demi sebuah pencitraan
dan mudahnya mereka untuk diingat. Sampai-sampai ada politisi yang memaksakan
nama asli ia dan wakilnya demi sebuah akronim.
Akronim
semakin menarik sebab pelafalannya yang wajar dan sudah menjadi bagian kata
yang wajar dalam masyarakat. Inilah yang membuat akronim terpolitisasi dibutuhkan.
Ia mudah diingat dibanding nama asli serta embel-embel gelar yang terkadang
dilafalkan saja sudah sulit. Terlebih jika mereka adalah politisi baru yang
belum dikenal secara luas.
Akronim
pun didapuk menjadi sebuah alat pencitraan efektif. Tidak percaya? Aku akan
mengambil beberapa contoh. Misalnya Soekarno
dengan akronim supersemar a.k.a Surat Perintah 11 Maret. Surat ini secara de jure menjadi tonggak estafet pemerintahan Soekarno kepada
Soeharto. Surat yang masih menjadi polemik bagi sebagian ahli sejarah yang ragu
akan keeksisan surat tersebut setelah hilang di telan bumi.
Kita tentu tidak akan memperlebar bahasan keeksisan surat ini. Kita hanya
akan mengkritisi akronim supersemar yang berasal dari sebuah nama tokoh pewayangan
khas jawa, Semar. Supersemar juga tidak asing ditelinga, ia selaras layaknya superman yang berarti semar yang super. Sebuah
filosofi bermakna dalam pun terselip dalam akronim ini. Saat bertanya pada
ayahku tentang sosok Semar dalam pewayangan. Ayah menuturkan bahwa Semar adalah
karakter manusia yang bahkan kesalahan Dewa pun mampu dibenarkan oleh Semar. Tak
salah jika ia adalah manusia yang disejajarkan dengan Dewa. Semar yang
bijaksana. Semar yang dalam tangannya, setiap problema mampu dipecahkan. Semar
yang kuat tak tertandingi.
Filosofi ini pada akhirnya terpatri dalam benak
masyarakat Indonesia, bahwa Soeharto yang diberikan kepadanya supersemar
memiliki karakter persis Semar. Dengan begitu terciptalah citra diri Soeharto
dalam masyarakat. Di kemudian hari, akronim sering digunakan Soeharto dalam
berbagai kebijakannya seperti Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang bermakna “cahaya” dan “cahaya yang
berulang”.
Dalam konteks kekinian, akronim terpolitisasi dapat dijumpai pada
pasangan walikota Bandung Ridwan Kamil dan Oded. Mereka menggunakan akronim “RIDO”
dengan harapan kelak kepemimpinannya diridhoi Allah juga seluruh eleman masyarakat
Bandung.
Setali tiga uang dengan pendahulunya, Ahmad Heryawan beserta Dedi Mizwar
pun membuat akronim citra dirinya dalam bahasa sunda “HADE” yang berarti cakap.
Selain contoh di atas, teman-teman pasti mampu memberi contoh akronim
terpolitisasi yang eksis di daerah masing-masing. Menjamurnya wabah akronim
terpolitisasi agaknya disikapi dingin oleh beberapa politisi. Mereka memilih berada dalam jalur anti mainstream singkatan. Tersebutlah politisi seperti SBY, JK,
ARB yang memilih menyingkat namanya. Toh karena mereka adalah tokoh yang memang
telah dikenal. Atau bisa jadi singkatan pun ternyata juga mampu dipolitisasi.
Sebagai
anak bahasa, aku semakin takjub dengan kejaiban ini. Bahasa dengan fungsi
maksimal ternyata mampu menjadi alat politik efektif, bahkan hanya dengan akronim
saja. Jika sudah begini, aku hanya berharap bahwa pencitraan diawal kampanye
dengan deep meaning dan embel-embel akronim
tidak hanya selesai saat kaum elit telah dipercaya untuk memimpin. Harapan masyarakat
jangan hanya tinggal harapan, tapi harus dibuktikan dengan kinerja nyata dalam
pengurusan urusan umat. Ini baru yang dinamakan fair.
Post a Comment