0

[Catatan Harian] Akronim Terpolitisasi

Posted by Unknown on 09:21 in , , , ,
SONG OF THE DAY
Gigi - Pemimpin dari Surga [ download ]

gambar google *Sumpah ngakak liat gambarnya

Semester lalu, bagi mahasiswi tingkat akhir sepertiku, Rabu adalah hari paling indah sebab di hari ini dosen favoritku mengajar. Beliau tidak hanya mengajar namun juga berbagi cerita melalui pengalamannya. Berhubung pengalaman setiap manusia dalam melewati fase hidupnya berbeda-beda, maka aku sangat menikmati mendengarkan pengalaman hidup dari sudut pandang orang lain.

Bercerita di sela-sela mata kuliah agaknya menjadi kebiasaan. Dan kami akan setia mendengarkan. Di kesempatan suatu Rabu, kisah tentang perpolitikanlah yang beliau bagi. Kisah ini beliau dapati saat mengikuti seminar kebahasaan bertajuk akronim sebagai alat politik di ITB. Asal tahu saja, pembahasan berbau politik memang selalu menyita seluruh perhatianku.


Menarik. Itu yang pertama kali terbersit dalam otakku. Aku memang sering mendapati akronim yang dipolitisasi dalam kehidupan sehari-hari, namun tak pernah berpikir sejauh demikian. Menurut kamus bahasaindonesia.org, akronim diartikan sebagai berikut:
ak.ro.nim
[n Ling ] kependekan yg berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yg ditulis dan dilafalkan sbg kata yg wajar (msl mayjen mayor jenderal, rudal peluru kendali, dan sidak inspeksi mendadak)

Pengertian di atas tentu membantu teman-teman untuk mengingat lebih jauh akronim apa saja yang telah terpolitisasi. Aku pun kemudian teringat dengan sebuah acara LDK DKM Unpad yang pernah kurancang juga memakai akronim. SDI Ampuh namanya. SDI yang merupakan singkatan dari Studi Dasar Islam dan „AMPUH“ yang merupakan akronim dari „Aktif Membawa Perubahan Untuk ummaH“. Dengan akronim ini aku berharap agar nama acara kami mudah diingat dan sesuai dengan arti „ampuh“, yang dalam hal ini ampuh untuk mengIslamkan pemikiran kapitalisme dalam otak mahasiswa-mahasiswi muslim Unpad.

Tentu hal serupa juga menjadi harapan para calon pemegang kekuasaan Indonesia. Itulah sebabnya, para politisi ramai-ramai „menciptakan“ nama-nama baik demi sebuah pencitraan dan mudahnya mereka untuk diingat. Sampai-sampai ada politisi yang memaksakan nama asli ia dan wakilnya demi sebuah akronim.

Akronim semakin menarik sebab pelafalannya yang wajar dan sudah menjadi bagian kata yang wajar dalam masyarakat. Inilah yang membuat akronim terpolitisasi dibutuhkan. Ia mudah diingat dibanding nama asli serta embel-embel gelar yang terkadang dilafalkan saja sudah sulit. Terlebih jika mereka adalah politisi baru yang belum dikenal secara luas.

Akronim pun didapuk menjadi sebuah alat pencitraan efektif. Tidak percaya? Aku akan mengambil beberapa contoh. Misalnya Soekarno dengan akronim supersemar a.k.a Surat Perintah 11 Maret. Surat ini secara de jure menjadi tonggak estafet pemerintahan Soekarno kepada Soeharto. Surat yang masih menjadi polemik bagi sebagian ahli sejarah yang ragu akan keeksisan surat tersebut setelah hilang di telan bumi.

Kita tentu tidak akan memperlebar bahasan keeksisan surat ini. Kita hanya akan mengkritisi akronim supersemar yang berasal dari sebuah nama tokoh pewayangan khas jawa, Semar. Supersemar juga tidak asing ditelinga, ia selaras layaknya superman yang berarti semar yang super. Sebuah filosofi bermakna dalam pun terselip dalam akronim ini. Saat bertanya pada ayahku tentang sosok Semar dalam pewayangan. Ayah menuturkan bahwa Semar adalah karakter manusia yang bahkan kesalahan Dewa pun mampu dibenarkan oleh Semar. Tak salah jika ia adalah manusia yang disejajarkan dengan Dewa. Semar yang bijaksana. Semar yang dalam tangannya, setiap problema mampu dipecahkan. Semar yang kuat tak tertandingi. 

Filosofi ini pada akhirnya terpatri dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa Soeharto yang diberikan kepadanya supersemar memiliki karakter persis Semar. Dengan begitu terciptalah citra diri Soeharto dalam masyarakat. Di kemudian hari, akronim sering digunakan Soeharto dalam berbagai kebijakannya seperti Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang bermakna “cahaya” dan “cahaya yang berulang”.

Dalam konteks kekinian, akronim terpolitisasi dapat dijumpai pada pasangan walikota Bandung Ridwan Kamil dan Oded. Mereka menggunakan akronim “RIDO” dengan harapan kelak kepemimpinannya diridhoi Allah juga seluruh eleman masyarakat Bandung.

Setali tiga uang dengan pendahulunya, Ahmad Heryawan beserta Dedi Mizwar pun membuat akronim citra dirinya dalam bahasa sunda “HADE” yang berarti cakap.

Selain contoh di atas, teman-teman pasti mampu memberi contoh akronim terpolitisasi yang eksis di daerah masing-masing. Menjamurnya wabah akronim terpolitisasi agaknya disikapi dingin oleh beberapa politisi. Mereka memilih berada dalam jalur anti mainstream singkatan. Tersebutlah politisi seperti SBY, JK, ARB yang memilih menyingkat namanya. Toh karena mereka adalah tokoh yang memang telah dikenal. Atau bisa jadi singkatan pun ternyata juga mampu dipolitisasi.


Sebagai anak bahasa, aku semakin takjub dengan kejaiban ini. Bahasa dengan fungsi maksimal ternyata mampu menjadi alat politik efektif, bahkan hanya dengan akronim saja. Jika sudah begini, aku hanya berharap bahwa pencitraan diawal kampanye dengan deep meaning dan embel-embel akronim tidak hanya selesai saat kaum elit telah dipercaya untuk memimpin. Harapan masyarakat jangan hanya tinggal harapan, tapi harus dibuktikan dengan kinerja nyata dalam pengurusan urusan umat. Ini baru yang dinamakan fair.

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Catatan Kecil Untuk Dunia All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.