SONG OF THE DAY
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrjHsQpluGAUeE82_KIWe33eq3Oo4s_dHP37F1vxckELDT23AnCF13qsKbfqCw6geY55zedA6Jm30Jp_qKrXIFcauRBsVpJsF_zqaizuI_LNU4vwXj7lYZwjkHdgNUZVzvXMZQYjEEEVLo/s1600/fake-vs-real.jpg) |
Gambar Google |
Aku pernah membuat postingan sebelumnya tentang dialogue
antara aku dan seorang pedagang buku yang juga menjual barang KW. Saat itu aku
berpendapat bahwa tidak mengapa membeli barang KW, karena aku pikir adanya
kesamaan hukum yang mengikat antara buku KW dan buku fotokopi. Tapi ternyata
aku salah. Ada dalil penggalian yang lebih kuat terkait barang-barang KW yang
memang marak di Indonesia. Mari scroll
mousenya lagi ke bawah.
Pada Media Umat edisi 121 kemarin, ada fulanah yang
bertanya akan hukum memproduksi, menjual belikan, dan menggunakan barang KW. Pertanyaan ini tentu
didasari oleh sifat hati-hati seorang hamba terhadap aturan Allah. Ia mengerti bahwa
perbuatan manusia akan selalu terikat dengan hukum syara.
Maka dijawablah pertanyaan ini dimulai dengan fakta
barang KW. Barang KW adalah barang tiruan/imitasi dari barang yang asli
(original). Kata KW berasal dari “kualitas“ yang konotasinya “imitasi“ atau
“tiruan“. Awalnya istilah KW digunakan untuk tas tangan wanita tiruan bermerek,
yang digunakan oleh pedagang untuk membedakan kategori kualitas dan range (kisaran) harganya. Di Indonesia dikenal
merek-merek semisal louis vuitton,
hermes, chanel yang harganya hanya berkisar Rp50.000 di pasaran.
Itu harga KW sekian, karena kisaran harga KW pun beragam,
tergantung istilah yang dipakai. Misal “KW super“ untuk barang tiruan terbaik
mendekati aslinya tentu lebih mahal dibanding “KW1“ untuk barang tiruan
diperingkat dibawahnya, dan seterusnya. Akhirnya istilah
barang KW digunakan secara luas untuk produk-produk tiruan lainnya, seperti HP,
jam tangan, baju bermerek dsb.
Hukum syar’i menjualbelikan barang KW adalah haram. Hal
ini didasarkan pada dua alasan: pertama,
karena penjual barang KW telah menjual barang dengan merek orang lain yang
bukan merek milik sendiri. Padahal syara‘ telah mengakui adanya nilai finansial
pada merek, yaitu diakui sebagai manfaat yang mempunyai nilai harta (maaliyatul manfaah).
Dalilnya adalah hadits-hadits
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar
berupa manfaat/jasa mengajarkan Al-Qur’an. Ucap Rasulullah: “Aku
nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan Al-Qur’an yang ada padamu.“ (HR.
Bukhari, no.2186)
Syeikh Ziyad Ghazal menjelaskan hadits itu dengan berkata
“dalam hadits ini Rasulullah SAW telah menjadikan manfaat mengajarkan Al-Qur’an
sebagai harta, sebagaimana dikatakan imam ibnu rajab al hanbali, “kalau manfaat
itu bukan bernilai harta, niscaya manfaat tidak sah untuk tujuan ini (sebagai
mahar).“ (Ibnu Rajab, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, hlm 123)
Maka dari itu, pelanggaran hak (al I’tida) terhadap merek dengan melakukan pemalsuan/peniruan (imitation, taqliid) adalah haram
hukumnya, karena termasuk kecurangan/penipuan (al Ghisy) yang telah diharamkan Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW,
“barangsiapa yang melakukan penipuan/kecurangan (ghisy) maka dia bukanlah dari golongan kami.“(HR. Muslim, no.164).
(Ziyad Ghazal, Masyru‘ Qanun Al Buzu‘ fi ad Daulah Al Islamiyyah, hlm.133-134)
Keharaman kedua
terkait cacat yang terdapat pada barang kw yang disembunyikan oleh penjual
barang. Artinya kualitas barang yang dijualnya tidak sama dengan barang asli.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang muslim
adalah saudara muslim lainnya, dan tidaklah halal seorang muslim menjual kepada
saudaranya barang yang ada cacatnya, kecuali dia menerangkan cacatnya kepada
saudaranya.” (HR Ibnu Majah, no.2264). (Ziyad Ghazal. Masyru’ Qanun Al
Buyu’ fi Ad Daulah Islamiyyah, hlm.134)
Sebagaimana haramnya
menjualbelikan, haram pula memproduksi dan menggunakan barang KW. Haramnya
memproduksi barang KW berdasarkan kaidah fiqih: al shinaa’ah ta’khudzu hukma maa tuntijuhu “hukum memproduksi
barang bergantung pada produk yang dihasilkan” (Taqiyuddin an-Nabhani,
Muqadimmah Al Dustur, 2/135). Dalam hal ini barang yang dihasilkan adalah
barang KW yang haram dijualbelikan, maka memproduksi barang KW hukumnya juga
haram.
Adapun
keharaman menggunakan barang KW dikarenakan barang KW diperoleh melalui akad
jual beli yang tidak sah, yang implikasinya adalah tak adanya kebolehan memanfaatkan
(ibahatul intifa’) pada barang yang dibeli. Jadi akad jual beli yang sah
menjadi sebab bolehnya pemanfaatan. Sebaliknya jika sebab itu tidak ada, yakni
akad jual belinya tidak sah, maka pemanfaatan barang tersebut pun tidak
dibolehkan. Kaidah fiqih menyebutkan: Zawal
al ahkam bi zawal asbabiha ”hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiada
sebab-sebabnya (Izzudin bin abdis salam, Qawa’id Al Ahkan fi mashalih al anam,
2/4).